BAB I
PENDHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Perkembangan dunia yang semakin maju, peradaban manusia tampil gemilang sebagai refleksi dan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, persoalan-persoalan norma dan hukum kemasyarakatan dunia bisa bergeser, sesuai dengan kebutuhan dan aspirasi masyarakat yang bersangkutan. Didalam masyarakat modern seperti dibarat, kebutuhan dan aspirasi masyarakat menempati kedudukan yang tinggi, sehingga berdasarkan itu, suatu produk hukum yang baru dibuat.
Dari sini dapat digambarkan bahwa apabila terjadi pergeseran nilai dalam masyarakat, maka interfretasi terhadap hukum pun bisa berubah.
Sebuah metode yang digunakan untuk mempermudah penyembelihan hewan adalah dengan memingsankan hewan terlebih dahulu (stunning) sebelum disembelih. Secara teknis cara ini memberikan kemudahan. Sebab hewan yang sudah dipingsankan itu tidak akan meronta dan melakukan gerakan, sehingga penyembelih menjadi lebih mudah melakukan tugasnya. Bagaimana hukumnya jika ditinjau dari aspek kehalalan?
B. Rumusan Masalah
1. Apa dasar-dasar penyembelihan hewan dalam Islam
2. Bagaimana Pandangan para Imam Madzhab tentang penyembelihan hewan dan tata caranya
3. Apa pengertian penyembelihan hewan secara mekanis dengan pemingsanan
4. Apa pandangan MUI tentang penyembelihan hewan secara mekanis dengan pemingsanan
BAB II
PEMBAHASAN
A. Dasar-dasar Penyembelihan Hewan Dalam Islam
Dalam Al-Qur’an, tidak ada pernyataan yang eksplisit tentang cara penyembelihan hewan, yang ada hanyalah beberapa ketentuan tentang penyembelihan hewan yang berhubungan dengan pihak penyembelih dan pengantar(atau doa) dalam penyembelihan.
Al-Quran secara eksplisit melarang Umat Islam untuk mengkonsumsi hewan yang disembelih tanpa menyebut nama Allah. Allah berfirman:
•
Artinya: ”Janganlah kau memakan daging hewan yang ketika disembelih tidak disebut nama Allah.....” (QS. Al-An’am: 121)
Allah swt memerintahkan seorang yang hendak menyembelih binatang sembelihannya untuk berlaku ihsan (baik) terhadapnya dan tidak menyakitinya. Untuk itu Rasulullah saw memerintahkan penggunaan pisau yang tajam untuk penyembelihan agar mempercepat kematiannya, membahagiakan dan tidak membuatnya stress dengan memperlihatkan penyembelihan maupun binatang yang telah disembelih kepada binatang lainnya yang akan disembelih berikutnya, sebagaimana sabda Rasulullah saw,”Sesungguhnya Allah telah menetapkan ihsan (kebaikan) terhadap segala sesuatu. Apabila engkau membunuh maka bunuhlah dengan cara yang baik dan apabila engkau menyembelih maka sembelihlah dengan cara yang baik. Hendaklah salah seorang diantara kalian menajamkan pisau dan membahagiakan sembelihannya.” (HR. Muslim)
Penyembelihan menjadi syarat dihalalkannya binatang yang tercekik, terjatuh, ditanduk selama binatang-binatang itu masih bergerak atau ada tanda-tanda kehidupan didalam dirinya, sebagaimana firman Allah:
• •
Artinya : “Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang terpukul, yang jatuh, yang ditanduk dan diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu menyembelihnya....” Q.S. Al-Maidah: 3
Ibnu Katsir menyebutkan pendapat Ibnu Abbas bahwa makna dari “kecuali yang sempat kamu sembelih” adalah kecuali yang sempat kamu sembelih dari binatang-bintang tersebut (yang tercekik, yang terpukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan diterkam binatang buas) dan binatang itu masih memiliki ruh, inilah yang dinamakan penyembelihan, demikian pula riwayat dari Said bin Jubair, al Hasan al Bashri dan as Suddiy.
Ibnu Jarir menyebutkan riwayat dari Ali yang mengatakan bahwa ketika sempat ada penyembelihan terhadap binatang yang terpukul, yang jatuh dan yang ditanduk dan masih ada penggerakan pada tangan dan kaki binatang itu maka makanlah.” (Tafsir Al Qur’anil Azhim juz III hal 22)
Cara Memotong Hewan (Dzakat)
Yang dimaksud dengan dzakat (juga dzabh, nahr atau ‘aqr) adalah cara pemotongan hewan yang boleh (halal) dimakan dengan syarat-syarat tertentu. Berikut adalah pandangan imam madzhab yang empat tentang cara penyembelihan.
Madzhab Hanafiyah
Mereka berpendapat bahwa pemotogan hewan yang sesuai dengan syari’at itu terbagi menjadi dua bagian: pertama, pemotongan darurat (dzakat al-dharurah). Kedua, pemotongan tidak darurat (dzakat al-ikhtiyar).
A. Pemotongan Darurat
Cara ini dilakukan dengan cara melukai pada bagian mana saja dari badan hewan itu. Ini dilakukan untuk hewan yang tidak jinak. Jika kambing, sapi atau unta menjadi liar dan sulit untuk disembelih, lalu dipanah dan kena pada bagian mana saja dari badannya dan mengeluarkan darah serta mematikan, maka ia halal dimakan. Hal ini berlaku juga untuk seseorang yang melempar sesutau kearah binatang yang menjadi liar ataupun binatang yang jatuh kesumur. Jika diketahui binatang tersebt mati akibat luka (dan mengeluarkan darah) yang dihasilkan dari lemparan tersebut, maka hewan tersebut halal dimakan.
Demikian juga apabila ada sapi yang tidak mampu melahirkan, lalu ada seseorang yang memasukan tangannya kedalam dan menyembelih anaknya, maka ia halal dimakan. Jika tidak bisa disembelih didalam dan hanya melukainya saja, itupun halal dimakan. Jika anak tadi tidak disembelih dan tidak juga dilukai, maka tidak halal sekalipun induknya disembelih, karena menurut Hanafiah, penyembelihan terhadap induknya tidaklah berarti penyembelihan terhadap anaknya, dengan alasan hadits Nabi SAW yang berbunyi:
"ذبح الجنين هو ذبح والدته"
“Penyembelihan janin adalah penyembelihan terhadap induknya“.
Imam abu hanifah memahami hadits ini sebagai penyerupaan, artinya bahwa penyembelihan terhadap janin itu dilakukan sama seperti terhadap induknya.
Cara ini dilakukan dengan menyembelih antara ujung kerongkongan dan ujung dada, yaitu dengan cara memotong dua urat leher, yaitu dua urat besar yang terdapat di kedua sisi depan batang leher dan memotong pembuluh nafas serta kerongkongannya. Namun cukup juga dengan memotong tiga diantaranya, sebab lebih banyak hukumnya sama dengan semuanya (lil aktsar hukmul kull). Karena itu, ia harus memotong pembuluh nafas atau kerongkongan beserta dua urat leher; atau memotong satu urat leher, pembuluh nafas dan kerongkongan. Bila penyembelihan hewan dilakukan dengan cara ini, maka penyembelihan tersebut telah sesuai dengan syari’at dan halal.
Untuk penyembelihan tidak darurat (dzakat al-ikhtiyar) ini, ada beberapa syarat yang perlu diperhatikan, yaitu:
1. Yang menyembelih adalah seorang muslim atau Ahli Kitab, baik Yahudi maupun Nasrani. Yang termasuk Nasrani adalah orang Shabian, sebab mereka mengakui Isa A.S. Sedangkan yang termasuk Yahudi adalah orang-orang Samara, sebab mereka berpegang dengan syari’at Musa A.S. Sembelihan mereka semua halal dimakan. Apabila Ahli Kitab tersebut menyebut nama Al-Masih (Yesus), maka sembelihannya itu tidak halal.
2. Yang disembalih itu bukan buruan tanah Haram (Mekah), karena hasil buruan ditanah Haram tidak halal dimakan dengan disembelih, sekalipun yang menyembelih itu tidak dalam keadaan ihram.
3. Tidak meninggalkan tasmiyah dengan sengaja. Dalam hal bacaan tasmiyah ini ada beberapa syarat, yaitu:
Tasmiyah itu dibaca semata-mata untuk dzikir, yaitu dengan menyebut nama Allah SWT dengan salah satu asma-Nya yang mana pun juga, baik nama itu diikuti dengan sifat, seperti Allahu a’dzham atau tidak, seperti, Allah dan Al-Rahman. Sedangkan menyebut nama Allah diikuti dengan do’a, seperti Allahummagfirlil, maka sembelihan itu tidak halal dengan bacaan tersebut. Dan disunnatkan untuk membaca Bismillahi allahu akbar.
Tasmiyah itu dibaca oleh orang yang menyembelih itu sendiri ketika menyembelih, oleh pemanah hewan buruan itu sendiri ketika ia memanah.
Disyaratkan hendaknya penyembelihan itu dilakukan langsung (seketika) setelah membaca tasmiyah sebelum pindah tempat.
Sembelihan anak kecil yang bisa membaca tasmiyah, sekalipun yang sebenarnya ia tidak tahu bahwa tasmiyah itu sebagai syarat, hukumnya halal.
Penyembelihan itu sah dengan menggunakan alat potong apa saja yang dapat memotong urat-urat yang harus dipotong dan dapat mengalirkan darah.
Madzhab Malikiyah
Mereka berpendapat, pemotongan hewan yang sesuai syari’at ialah sebab yang dapat menjadikan hewan darat halal dimakan secara ikhtiyar (bukan karena terpaksa). Pemotongan ini ada empat macam, yaitu dzabh, nahr, ‘aqr dan tindakan yang dapat mematikan dengan perantara apa saja.
A. Dzabh
Cara ini digunakan untuk memotong sapi, kerbau, domba, kambing kacang, burung, hewan, liar dan lainnya yang bisa dikuasai; selain jerapah, sebab pemotongannya itu dilakukan dengan cara nahr. Pemotongan hewan cara ini dilakukan dengan memotong kerongkongan dan dua urat leher yang terdapat dibagian depan dengan alat tajam dengan niat; dan tidak disyaratkan memotong pembuluh jalan nafas. Namun disyaratkan beberapa hal berikut:
• Hendaklah yang menyembelih itu seorang mumayyiz muslim atau Ahli Kitab.
• Tidak mengangkat tangannya dengan lama secara sengaja sebelum penyembelihan hewan itu sempurna.
Untuk para Ahli Kitab ditentukan beberapa syarat, yaitu:
• Menyembelih hewan yang halal bagi mereka sesuai syariat kita.
• Hewan itu tidak disembelih dengan selain nama Allah.
• Penyembelihan dilaksanakan dihadapan seorang muslim mumayyiz yang mengetahui ketentuan hukum potong hewan bila Ahli Kitab tadi termasuk orang yang menghalalkan bangkai.
B. Nahr
Cara ini digunakan untuk memotong unta, jerapah dan gajah. Dan makruh digunakan untuk memotong sapi dan kerbau. Cara ini juga digunakan untuk memotong kuda, bagal dan himar (keledai) liar. Pemotongan hewan cara ini dilakukan dengan cara menusuk leher bagian bawah kalung oleh seorang mumayyiz muslim atau Ahli Kitab tanpa mengangkat lama sebelum sempurna, dengan niat.
C. ‘Aqr
Cara ini digunakan untuk memotong hewan liar yang tidak bisa dikuasai dengan sulit, baik hewan itu berupa burung atau lainnya. Pemotongan cara ini dilakukan dengan cara melukai hewan liar itu dengan benda tajam oleh seorang muslim mumayyiz, atau dengan (mengutus) hewan pemburu yang sudah terlatih dengan niat dan membaca tasmiyah. Cara ini dilakukan dengan syarat sebagai berikut:
• Tidah sah dilakukan oleh seorang kafir. Ada juga yang berpendapat bahwa cara ini sah di lakukan oleh Ahli Kitab seperti halnya cara dzahb.
• Tidak sah dilakukan oleh anak kecil, orang gila dan orang mabuk.
• Tidak sah digunakan untuk hewan jinak ketika melarikan diri.
• Cara ini tidak sah dengan menggunakan tongkat atau batu yang tidak tajam.
• Sah dengan menggunakan peluru, sebab peluru lebih dahsyat dari benda tajam.
D. Dengan Tindakan Yang Mematikan
Cara pemotongan terhadap hewan yang tidak berdarah, seperti belalang dan ulat, maka pemotongan hewan ini adalah dengan mematikannya dengan cara apa saja, seperti dengan api, dengan gigi ataupun dipukul dengan tongkat atau karena sebab lain. Dan disyaratkan hendaklah berniat untuk dipotong.
Keempat macam cara ini disyaratkan hendaklah bagi seorang muslim menyebut nama Allah SWT (tasmiyah) sesuai dengan kemampuannya. Jika ia lupa atau tidak mampu, seperti orang bisu, maka sembelihannya itu boleh dimakan.
Madzhab Syafi’iyah
Mereka berpendapat, menyembelih hewan yang sesuai syariat adalah dengan memotong kerongkongan dan pembuluh nafasnya, semuanya. Bila masih ada yang belum terpotong dari keduanya itu, berati hewan yang disembelih tadi tidak halal. Dan disyaratkan hendaklah pada hewan itu ada “kehidupan yang tetap” sebelum disembelih, bila ada sebab yang dapat membinasakan. Jika tidak, maka tidak disyaratkan itu. Karenanya, hewan yang sakit-tanpa ada sebab yang dapat membinasakannya, bila dipotong pada sisa akhir hidupnya, ia halal dimakan, sekalipun ketika dipotong tidak mengeluarkan darah dan tidak memberontak.
Yang dimaksud dengan “kehidupan tetap” adalah adanya gerak tersebut diduga bahwa dalam hewan itu masih ada kehidupan. Diantara tanda-tandanya adalah terpancarnya darah setelah kerongkongan dan pembuluh nafasnya dipotong atau dapat bergerak dengan keras. Tidak ada perbedaan apakah kerongkongan dan pembuluh nafas itu dipotong pada bagian bawah jakun atau diatasnya. Akan tetapi dengan syarat disisakan (seukuran) dua pegelangan secara sempurna, satu pada bagian atas dan satu lagi pada bagian bawah. Jika tidak, maka sembelihan itu tidak halal dimakan, karena ketika itu disebut pencabikan, bukan penyembelihan.
Memutuskan dua urat leher, hukumnya sunnat. Seandainya kepalanya dipenggal, maka yang demikian itu cukup (sah), akan tetapi hukumnya makruh berdasarkan pendapat yang mu’tamad. Pensyaratan dengan cara ini hanya berlaku untuk hewan jinak yang dapat dikuasai. Sedangkan hewan yang tidak jinak, seperti kambing dan sapi liar, unta yang melarikan diri dan sebagainya, maka pemotongannya itu dapat dilakukan dengan cara ‘aqr (melukai) bagian mana saja dari badannya dengan benda yang dapat melukai dan dapat mematikan. Cara ‘aqr ini tidak dapat dilakukan dengan menggunakan kuku kuda atau unta, dan tidak juga dengan cakaran hewan sekedarnya.
Untuk halalnya sembelihan ditentukan beberapa syarat:
1. Menyengaja suatu benda atau janis tertentu. Jika ia melempar sesuatu yang disangka batu atau hewan yang tidak bisa dimakan, ternyata ia hewan yang bisa dimakan, maka ia halal dimakan, sebab dia telah mengenai suatu benda. Bila ia tidak menyengaja suatu benda atau jenis tertentu, maka tidak halal dimakan.
2. Cepatnya keluarnya nyawa hewan itu disebabkan terpotongnya kerongkongan dan pembuluh nafas. Jika seseorang memotong dan lainnya menarik usus atau membedah lambung, maka itu tidak halal dimakan.
3. Ada kehidupan yang tetap sebelum disembelih ketika ada sebab yang dapat membinasakan.
4. Yang disembelih itu dari jenis hewan yang halal dimakan.
5. Pemotongan dilakukan dengan alat yang tajam, sekalipun berupa bambu, kayu dan emas atau perak; kecuali gigi, kuku dan tulang, maka boleh digunakan.
6. Penyembelihannya itu dilakukan sekali. Jika ia memotong tenggorokannya lalu diam, kemudian ia teruskan penyembelihanya, maka jika yang kedua itu terpisah dari yang pertama secara ‘urf, disyaratkan hendaklah hewan itu masih hidup ketika memulai yang kedua. Jika yang kedua tidak terpisah dari yang pertama secara ‘urf, maka tidak disyaratkan hidup.
7. Yang menyembelih bukan orang yang sedang ihram, sementara yang disembelih buruan darat liar.
8. Yang menyembelih itu orang Islam atau Ahli Kitab. Akan tetapi Ahli Kitab (Yahudi dan Nasrani) hukumnya makruh menyembelih, seperti halnya bagi orang yang buta.
Dan tidak disyaratkan membaca tasmiyah, melainkan disunnatkan saja.
Madzhab Hanabilah
Mereka berpendapat bahwa pemotongan hewan secara syari’at adalah penyembelihan hewan yang dapat dikuasai, yang boleh dimakan, yang hidup didarat dan lain sebagainya kecuali belalang dan yang semacamnya yang tidak perlu disembelih. Pemotongan yang sesuai dengan syari’at dapat dilakukan dengan cara memotong pembuluh nafas dan kerongkongan. Pemotongan dengan cara nahr dilakukan pada legokan leher yang terdapat diantara pangkal leher dan dada. Dan tidak disyaratkan memotong dua urat leher (yakni urat yang berada disekitar pembuluh nafas), akan tetapi memotongnya lebih utama.
Bila merasa ada kesulitan untuk memotong hewan dengan cara dzahb atau nahr, maka hendaklah dilakukan dengan ‘aqr, yaitu dengan memanahnya dan lain sebagainya pada bagian manapun dari badannya, sehingga melukai dan mematikan, yang demikian itu halal dimakan sama seperti halnya buruan.
Untuk halalnya hewan sembelihan itu ada empat syarat yaitu:
1. Hendaklah membaca: ketika menggerakan tangannya (baik ketika memotong secara dzahb, nahr dan ‘aqr) dan tidak ada bacaan lain yang dapat menggantikan bacaan tasmiyah ini. Jika membaca tasbih, itu tidak cukup. Sah melafadzkannya dengan selain Bahasa Arab. Bila yang menyembelih itu bisu, maka hendaklah menengadahkan kepalanya kelangit serta memberi isyarat yang menunjukan bacaan tasmiyah. Bila sengaja meninggalkan tasmiyah atau karena tidak tahu, maka sembelihannya itu tidak boleh dimakan, berdasarkan Firman Allah Q.S: Al-An’am: 121, yang berbunyi:
•
“dan janganlah kamu memakan binatang-binatang yang tidak disebutkan nama Allah ketika menyembelihnya.” (Q.S:Al-An’am: 121).
Tenggang waktu sedikit yang memisahkan antara tasmiyah dan pelaksanaan penyembelihan tidaklah membatalkan bacaan tersebut. Jika ia membaca tasmiyah, lalu berbicara dan setelah itu menyembelih, maka sembelihan itu halal dimakan. Ahli Kitab dalam hal ini sama dengan orang muslim, tetapi bila ia menyebut al-Masih (Yesus), maka sembelihannya itu tidak halal.
2. Menyangkut kepantasan pelakunya (baik dengan cara dzahb, nahr,ataupun ‘aqr), dalam arti dia itu berakal atau sengaja bermaksud memotongnya. Dan hendaklah pemotongnya itu seorang muslim atau Ahli Kitab (Al-Maidah: 5). Tidak ada perbedaan antara laki-laki dengan perempuan, merdeka atau hamba, sekalipun ia junub, haid, nifas, buta ataupun fasik. Tidak halal sembelihan orang gila, mabuk, anak yang belum mumayyiz, karena mereka ini tidak punya maksud dan tujuan (dalam melakukan sesuatu).
3. Menyangkut alat, hendaklah hewan tersebut disembelih dengan alat yang tajam yang dapat memotong atau menembus karena tajamnya, bukan karena beratnya. Tidak ada perbedaan dalam masalah alat tajam ini, asalkan bukan gigi, kuku dan tulang.
4. Memotong tenggorokan dan pembuluh nafasnya sebagaimana telah dijelaskan terdahulu.
B. Pengertian Menyembelih Hewan Secara Mekanis dengan Pemingsanan (stunning)
Stunning adalah salah satu istilah tekhnis dalam ilmu perternakan yang banyak dipraktekkan dalam penyembelihan. Singkatnya stunning adalah menembak hewan dengan menggunakan peluru khusus yang mengenai sisi tanduknya sehingga hewan menjadi tak sadrkan diri, dan ketika sedang tidak sadarkan diri hewan tersebut disembelih. Perlakuan seperti itu membuat hewan yang disembelih tidak terlampau merasakan rasa sakit akibat sembelihan. Atas dasar pertimbangan itulah, salah seorang guru besar Ilmu Perternakan Fakultas peternakan Unpad mengatakan bahwa stunning lebih mendekati rasa perikehewanan.
Ada beberapa metode pemingsanan yang sering dilakukan untuk berbagai jenis hewan. Untuk hewan ternak besar, seperti sapi dan kambing, biasanya digunakan metode penembakan atau pemukulan pada bagian kepalanya. Dengan pistol dan peluru khusus proses penembakan ini dilakukan pada ukuran kaliber yang berbeda-beda sesuai dengan besar kecilnya ukuran sapi. Metode ini dikenal dengan captive bolt pistol.
Menurut empat madzhab Sunni menyembelih berarti memotong tenggorokan (hulqum), saluran makanan (oesophagus), dan pembuluh (waduyn) meskipun ada perbedaan pendapat tentang apakah pemotongan pembuluh itu diharuskan atau dianjurkan saja. Persis pada tahun 1930-an mengeluarkan fatwa, yang berbunyi:
”Sekarang ini kami akan menerangkan hal binatang yang dipingsankan sebelum disembelih dengan listrik, atau dengan chloroform. Bahwa yang dipingsankan dengan listrik, lebih dahulu daripada disembelih itu, hukumnya halal dimkan, asal saja binatang itu disembelih sebelum mati: dan sebagian daripada tanda yang membuktikan binatang itu belum mati, yaitu takkala disembelih akan mengalir darinya darah yang merah dan encer: adapun jika disembelih lalu keluar darinya darah yang hitam dan kental, ini membuktikan bahwa dia sudah mati, maka keadaan yang tersevut ini, teranglah bahwa sembelihan itu haram dimakan”.
Adapun binatang yang dipingsankan dengan bius, lebih baik daripada dengan listrik oleh karena jikalau dengan listrik itu dapat pipandang sebagai penganiaya sedangkan penganiayaan itu diharamkan oleh agama, walaupun terhadap binatang. Jika dengan bius tidak begitu, akan tetapi dapat melenyapkan rasa sakit. Ini boleh dimasukkan kepada yang dikehendaki oleh Nabi.
C. Pandangan MUI DKI Jakarta tentang metode stunning
1. Hewan ternak seperti onta, sapi,kerbau, dan unggas halal dimakan dagingnya, jika disembelih sesuai dengan ketentuan dan tata cara syariat islam. Jika hewan ternak tersebut mati tanpa melalui proses penyembelihan yang sah, seperti hewan yang mati karena tertabrak mobil, ditusuk dengan besi, dipukul, tercekik, dan sebagainya, maka tidak halal dimakan dagingnya karena dinilai sebagai bangkai (al-maitah). Sebagaimana Allah berfirman dalam Q.S. Al-Maidah: 3
• • •
Artinya: Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang terpukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu sembelihnya, dan (diharamkan bagimu) yang disembelih untuk berhala.........
2. Tata cara penyembelihan hewan ternak menurut syariat Islam, harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
a. Orang yang menyembelih harus beragama Islam, dewasa (baligh) dan berakal sehat, baik laki-laki maupun perempuan. Oleh karena itu, jika penyembelihannya tidak beragama islam (kafir/musyrik/murtad/munafik), masih kanak-kanak, sedang mabuk, atau gila, mak penyembelihannya dinilai tidak sah sehingga dagingnya pun haram dimakan.
b. Ketika akan disembelih harus membaca basmallah. Apabila jika disertai dengan menyebut nama-nama dewa tidak sah dan tidak halal dimakan daginnya. Sebagaimana Allah berfirman dalam Q.S.Al-An’am: 121
•
Artinya: ”Dan janganlah kamu memakan binatang-binatang yang tidak disebut nama Allah ketika menyembelih. Sesungguhnya perbuatan yang semacam itu adalah suatu kefasikan. Sesungguhnya syaitan itu membisikan kepada kawan-kawan agar mereka membantah kamu; dan jika kamu menuruti mereka, sesungguhnya kamu tentulah menjadi orang-orang yang musyrik” (Q.S. Al-An’am; 121)
c. Alat penyembelihan (pisau)-nya harus tajam
d. Hewan yang disembelih dilehernya sehingga dapat memtuskan saluran pernafasan. Salauran makanan dan dua urat leher. Sedangkan hewan yang tidak dapat disembelih dilehernya karena liar atau terjatuh ke dalam lubang, maka penyembelihannya dapat dilakukan dimana saja dari badannya asal dapat mati karena lika tersebut.
3. Disamping melaksanakan tata cara penyembelihan diatas, seseorang yang menyembelih hewan ternak disunahkan memperhatikan tata krama atau adab penyembelihan sebagai berikut:
a) Hewan yang disembelih, sunnah dihadapkan ke arah kiblat
b) Hewan yang disembelih sunnah digulingkan ke ebelah rusuknya yang kiri agar mudah disembelih
c) Hewan yang panjang lehernya, hendaknya disembelih dipangkal lehernya dengan memotong dua urat yang disebelah kiri dan kanan lehernya. Dengan demikian diharapkan dapat mempercepat kematian
d) Orang yang menyembelih disunnahkan membaca shalawat kepada Rasulullah SAW dan menbaca takbir sebanyak tiga kali, disamping membaca ibasmallah
e) Orang yang menyembelih hewan disunnahkan menjaga kebersihan sehingga tidak mencemari lingkungan
4. Penyembelihan hewan dengan menggunakan mesin dan disertai pemingsanan terlebih dahulu sehingga dapat mempermudah dan memepercepat penyembelihan yang lazim dikenal dengan istilah penyembelihan mekanis, diperbolehkan dan dagingnya halal dimakan. Proses penyembelihan hewan secara mekanais adalah sebagai berikut:
Sebelum disembelih hewan dipingsankan terlebih dahulu
Setelah dipingsankan, hewan harus tetap dalam keadaan hidup (bernyawa) sehingga jika tidak jadi disembelih tetap dalam keadaan hidup secara normal
Hewan tersebut disembelih menggunakan pisau tajam sehingga dapat memutuskan saluran pernafasan, saluran makanan, dan dua urat leher
Pemotong hewan beragama islam dan terlebih dahulu mambaca basmallah ”Bismillahir rahmanirrahim”
Sesudah disembelih dan darahnya telah berhenti mengalir, maka isi perut hewan tersebut dikeluarkan semua dan selanjutnya dagingnya dipotong-potong
Selain itu waktu untuk menyembelih juga harus dilakukan secara tepat. Jarak waktu yang ideal antara proses stunning dengan proses penyembelihan antara 20 hingga 30 detik. Kurang dari itu akan mempersulit melakukannya, sementara lebih dari iru akan menghasilkan dampak kurang baik
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’an
DR. Jaih Mubarok dan Drs. MAman Abd.Djaliel, Fiqih Kontemporer, halal haram bidang perternakan, Bandung: CV. Pustaka Setia. Cet I th 2003
Dr. KH. M. Hamdan Rasyid, M.A. Fiqih Indonesia. Himpunan fatwa-fatwa actual. Jakatra: PT. Al-Mawardi Prima, cet 1 th 2003,
M.B.Hooker. Islam Madzhab Indonesia. Cet I. 2002.
Abdurrahman Al-Jaziri,Fiqih Empat Madzhab, Jakarta. Cet 4. 1996
DR. Yusuf Qordhawi, Halal Haram Dalam Islam, Solo: Cet: 2. 2001
1 komentar:
artikel nya sangat bermanfaat bagi saya terima kasih
Kunjungi,Cara buat Mas kawin unik
Kunjungi,Cara buat Mas kawin unik
Kunjungi,Cara buat Mas kawin unik
Kunjungi,Cara buat Mas kawin unik
Kunjungi,Cara buat Mas kawin unik
Posting Komentar