Selamat datang di Jurnal Perbandingan Mazhab dan Hukum

Minggu, 11 Oktober 2009

PERKAWINAN TANPA WALI ( Kasus WNI/TKI Yang Berada di Luar Negeri )




Oleh :

IBNU MUBAROK
NIM : 105043101302

I. Pendahuluan
Perwalian merupakan ketentuan hukum yang dapat dipaksakan kepada orang lain sesuai dengan hukumnya. Dalam hal perkawinan maka perwalian memiliki kedudukan yang sangat dipertimbangkan untuk pelaksanaan akadnya. Karena wali itu sendiri ditempatkan sebagai rukun dalam akad pernikahan menurut mayoritas ulama madzhab, sehingga pernikahan yang tidak disertai oleh seorang wali maka pernikahan tersebut menjadi batal demi hukum.

Akan tetapi, dalam keadaan-keadaan tertentu terkadang seseorang sulit untuk dapat menghadirkan seorang wali ketika akad pernikahannya berlangsung. Karena beberapa alasan dan kendala yang secara logis dan masuk akal dapat diterima alasan tersebut. Lalu kemudian bagaimana penyelasaian permasalahan tersebut yang bertentangan dengan nash yang mensyaratkan akan adanya seorang wali dalam setiap akad pernikahan., agar dapat diatasi sehingga tidak dianggap keluar dari ajaran syara’, dan tetapi tetap relevan dengan waktu, tempat dan keadaan.



II. Identifikasi Masalah
Dalam banyak kasus yang terjadi pernikahan tanpa wali nasab adalah pernikahan yang sering terjadi antara Mahasiswa Indonesia yang belajar di Universitas Al-Azhar Kairo-Mesir dengan Perempuan yang juga berasal dari Indonesia yang bekerja di Negara Mesir tersebut.
Salah satu contoh kasus tersebut adalah pernikahan yang dialami oleh Mahasiswa asal Indonesia yang bernama Sufyan Tsauri (31 tahun) yang menikahi Nurmi (29 tahun), TKI asal Indinesia, pada tahun 2005 yang lalu, dari hasil perkawinannya mereka telah dikaruniai satu orang putra. Namun diketahui bahwa pada akad pernikahannya, mereka tidak turut menghadirkan sorang wali nasab atau wali mujbir dari pihak perempuan yang padahal hal itu wajib dan menjadi syarat sahnya nikah. Padahal Nurmi itu adalah anakyang masih perawan (bukan janda) pada waktu dinikahinya, juga masih memiliki orang tua lengkap yang dapat menjadi wali.
Pernikahan tanpa wali itu dapat dimaklumi karena alasan jarak yang jauh antar Negara yang tidak memungkinkan baginya utuk dapat menghadirkan wali, juga karena keterbatasan biaya. Maka perwaliannya hanya diserahkan kepada wali hakim di tempat. Maka selanjutnya yang menjadi permasalahan adalah sah atau tidakkah pernikahan tersebut yang dilakukan tanpa seorang wali, yang pada kenyataannya ali nasab itu masih ada (hidup)?

III. Pembahasan
Untuk dapat menjawab permasalahan yang telah diuraikan diatas, maka perlu dijelaskan terlebih dahulu tentang keberadaan wali itu dalam akad pernikahan dan kedudukannya yangn menentukan sah tidaknya perkawinan itu, dan pernikahan itu menjadi batal atau jika telah terjadi mesti difasakh, atau mungkin saja ada alternatif lain yang dapat menjembatani antara syarat hukum yang bertentangan dengan keadaan atau kondisi yang berlainan.
Dalam hal pentingnya kedudukan wali dalam akad pernikahan ulama madzhab berbeda pendapat. Imam Malik, Syafi’I, dan juga Hanbali berpendapat seorang wali itu menjadi syarat sahnya pernikahan dan suatu pernikahan tidak akan terlaksana tanpa ada seorang wali.
Sedagkan Abu Hanifah, serta para sahabatnya Zafar, Sya’bi, dan al-Zuhri berpendapat lain, mereka mengatakan bahwa jika seorang perempuan itu telah mampu dan akal sehatnya (kufu), kemudian ia melangsungkan pernikahanya sendiri tanpa seorang wali, maka pernikahannya dibolehkan dan sah secara hukum.
Sedangkan pandangan Daud Zohiri lebih membedakan wanita mana yang masih perawan dan mana yang sudah menjanda, yakni dengan mensyaratkan adanya seorang wali untuk wanita yang masih perawan dan tidak mensyaratkannya untuk wanita yang sudah menjadi janda.
Menurut Ibnu Rusyd mengatakan bahwa perbedaan pendapat diantara para ulama diatas adalah karena tidak adanya satu ayat atau hadis pun yang secara mensyaratkan keharusan wali juga tidak ada satu dalil pun yang secara tegas tidak mensyaratkan adanya wali. Bahkan menurutnnya ayat-ayat dan hadis tersebut masih bersifat muhtamilah (ayat yang masih mengandung beberapa interpretasi).[1]
Salah satu ayat yang dijadikan dalil tentang keharusan adanya wali dalam akad pernikahan adalah QS: Al-Baqarah ayat
#ŒÎ)urا ãLäêø)¯=sÛ uä!$|¡ÏiY9$# z`øón=t6sù £`ßgn=y_r& Ÿxsù £`èdqè=àÒ÷ès? br& z`ósÅ3Ztƒ £`ßgy_ºurør& #sŒÎ) (#öq|ʺts? NæhuZ÷t/ Å$rã÷èpRùQ$$Î/ 3 y7Ï9ºsŒ àátãqム¾ÏmÎ/ `tB tb%x. öNä3ZÏB ß`ÏB÷sム«!$$Î/ ÏQöquø9$#ur ̍ÅzFy$# 3 ö/ä3Ï9ºsŒ 4s1ør& ö/ä3s9 ãygôÛr&ur 3 ª!$#ur ãNn=÷ètƒ ÷LäêRr&ur Ÿw tbqßJn=÷ès? ÇËÌËÈ
Artinya:. Apabila kamu mentalak isteri-isterimu, lalu habis masa iddahnya, Maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka kawin lagi dengan bakal suaminya[146], apabila Telah terdapat kerelaan di antara mereka dengan cara yang ma'ruf. Itulah yang dinasehatkan kepada orang-orang yang beriman di antara kamu kepada Allah dan hari kemudian. itu lebih baik bagimu dan lebih suci. Allah mengetahui, sedang kamu tidak Mengetahui. (QS: Al-Baqarah ayat 232)

Wajh al-dilalah dari ayat diatas adalah “falaa ta’dluu hunna…” , yang merupakan khitab bagi para wali, karena jika seandainya tidak ada hak bagi para wali untuk menikahkan anaknya, maka tidak akan ada pula larangan untuk para wali berlaku ‘adlal (menghalang-halangi) anaknya untuk menentukan pilihannya.
Sedangkan hadis yang bernada sama dengan ayat di atasa adalah hadis yang diriwayatkan oleh Al-Zuhri dari ‘Urwat dari ‘Aisyah r.a.
عن عروة عن عائشة رضي الله عنها قالت قال رسول الله صلي الله عليه وسلم أيما امرأة نكحت بغير اذن وليها فنكاحها باطل ثلاث مرات {رواه الزهرى}
Atinya: dari Urwat dari ‘Aisyah r.a. berkata: bersabda rasulullah saw siapapun wanita yang menikah tanpa seizin walinya maka pernikahannya batal, rasulullah mengulanginya sebanyak tiga kali (HR. Al-Zuhri)

Lebih dari itu bahkan Syafi’i, sebagaimana yang dijelaskan oleh Al-Mawardi dalam kitabnya Al-Jawi al-Kabir yang mensyaratkan adanya perwalian dalam aka nikah, juga harus mursyid atau tidak fasiq. Pendapat ini juga sekaligus membantah pendapat Hanafi yang mengatakan bahwa wali yang fasiq tidak membatalkan pernikahan.[2]
Sedangkan ayat yang dijadikan dalil bagi yang tidak mensyaratkan adanya ali dalam pernikahan, salah satunya adalah QS: Al-Baqarah ayat 234
tûïÏ%©!$#ur tböq©ùuqtFムöNä3ZÏB tbrâxtƒur %[`ºurør& z`óÁ­/uŽtItƒ £`ÎgÅ¡àÿRr'Î/ spyèt/ör& 9åkô­r& #ZŽô³tãur ( #sŒÎ*sù z`øón=t/ £`ßgn=y_r& Ÿxsù yy$oYã_ ö/ä3øŠn=tæ $yJŠÏù z`ù=yèsù þÎû £`ÎgÅ¡àÿRr& Å$râ÷êyJø9$$Î/ 3 ª!$#ur $yJÎ/ tbqè=yJ÷ès? ׎Î6yz ÇËÌÍÈ
Artinya: Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri (hendaklah para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber’iddah) empat bulan sepuluh hari. Kemudian apabila Telah habis ‘iddahnya, Maka tiada dosa bagimu (para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka[147] menurut yang patut. Allah mengetahui apa yang kamu perbuat. (QS: Al-Baqarah ayat 234)

Dan juga hadis rasulullah saw yang berbunyi sama dengan ayat diatas, salah satunya hadis yang diriwayatkan oleh Bukhori Muslim
عن بن عباس قال رسول الله صلي الله عليه وسلم الأيم أحق بنفسها من وليها, و البكر تستأمر فى نفسها واذنها صماتها {متفق عليه}
Artinya: dari Ibnu Abbas r.a. bahwasanya rasulullah saw bersabda bahwa seorang perempuan janda lebih berhak atas dirinya dari pada walinya sendiri sedangkan seorang anak perawan diperintahkan atas dirinya dan diamnya adalah jawaban izinnya.(Muttafun ‘alaihi)
Menurut Amir Syarifuddin dalam bukunya Hukum Perkawinan Islam di Indonesia: Antara Fiqh Munakahat dan Undang-undang Perkawinan, bahwa alasan rasional dari pendapat Abu Hanifah yang mengatakan perempuan itu uga boleh menikahi dirinya sendiri adalah orang yang telah dewasa dan sehat akalnya dapat bertindak hukum dengan sendirinya tanpa diperlukan bantuan walinya.[3]
Jika melihat kepada perundang-undangan di Indonesia khususnya, maka dapat diketemukan bahawa di Indonesia lebih mengambil pendapat yang pertama yaitu yang lebih mensyaratkan adanya wali, bahkan menjadi rukun pernikahan, sebagaimana dijelaskan dalam pasal 19 KHI “wali nikah dalam perkawinan merupakan rukun yang harus dipenuhi bagi calon mempelai wanita yang bertindak untuk menikahkannya.
Selanjutnya, permasalahan mengenai jarak yang memisahkan antara wali dengan anak perempuannya, seperti seorang wali atau anak perempuannya itu berada di luar negeri yang menyulitkan keduanya untuk dapat bertemu dalam satu majelis akad nikah karena keterbatasan biaya, alasan kesehatan atau yang lainnya. Seperti dalam kasus yang di atas yaitu antara orang tua wali yang berada di Indonesia dengan anak perempuannya yang berada di Kairo-Mesir untuk urusan pekerjaan.
Ulama madzhab dalam hal ini juga berpendapat beragam, Hanafiyah dan Hanabilah berpendapat bahwa jarak antara negara tersebut sangat jauh, sehingga dalam kurun waktu satu tahun hanya dapat satu kali saja sampai, maka pernikahan itu dapat dilakukan tanpa adanya wali.
Syafi’iyah berpendapat jika jaraknya hanya dua kali perjalanan atau jarak yang dekat, tetapi tidak ada wali nasab yang hadir, maka sultan atau naibnya boleh menikahkanya, yakni sultan atau hakim yang berada ditempatnya berada, buka dari daerah lainya. Karena waliitu ghoib, sedangkan menikahkan itu adalah menjadi haknya, maka apabila ia berhalangan dapat diwakilkan kepada sultan atau hakim setempat.

IV. Kesimpulan
Dari pembahasan perbandinngan antara ulama madzhab di atas mengenai apakah wali itu menjadi syarat sahnya pernikahan juga perbedaan pendapat ulama mengenai status wali yang ghoib karena jarak dan tempat atau disebut juga dengan al-ghibah al-munqothi’ah. Maka dapat diambil suatu inti jawaban untuk memecahkan permasalahan kasus diatas adalah;
Pertama; perwalian pernikahannya adalah syarat sahnya pernikahan sebagimana pendapat jumhur ulama, seperti yang telah juga terkompilasikan dalam KHI Indonesia pasal 19.
Namun dalam kondisi tertentu maka dapat saja pernikahan itu tanpa dihadiri seorang wali, seperti dalam keadaan safar yang jauh dan tidak memungkinkan untuk mendatangkan wali. Asal saja perempuan itu sudah dewasa, mampu, dan sehat akalnya sebagimana yang diajarakan oleh madzhab Hanafi.
Kedua; perwalian pernikahan dalam kasus tersebut sama saja dengan perwalian ghoib karena jarak dan tempat yang terpisah (al-ghibah al-munqothi’ah), maka pernikahan itu dapat diwakilkan kepada naibnya atau sultan atau hakim ditempat perempuan yang telah dewasa itu dengan mahasiswa tersebut.
Sebagimana menurut Wahbah Zuhaili dalam kitabnya Al-Fiqh al-Islaamiy wa Adillatuhu yaitu jika jarak itu jauh seperti jarak tempuh tiga bulan bahkan lebih seperti safar ke Afrika, maka jika kedatangan wali itu dapat diharapkan seperti untuk keperluan berdagang atau hajat, maka sebaiknya perempuan itu tidak boleh dinikahkan terlebih dahulu sebelum walinya kembali, tapi jika kedatangannya tidak dapat diharapkan, maka hakim dapat menggantikannya. Pendapat ini juga sama dengan pendapatnya madzhab Maliki.[4]
Hal tersebut dapat dipahami karena pada dasarnya wali itu adalah wali nasab yang ghaib. Menurut Amir Syarifuddin yang juga mengutip pendapat jumhur ulama bahwa jika wali qorib itu tidak memenuhi syarat-syarat wali, seperti belum baligh, bukan muslim dan lainnya. Maka hak perwalian tersebut dapat berpindah kepada wali ab’ad menurut urutannya. Sedangkan jika yang menjadi alasan adalah karena wali qorib itu sedang melaksanakan haji maka hak perwalian tidak jatuh kepada wali ab’ad akan tetapi jatuh kepada wali hakim secara kewalian umum. Demikian pula wali hakim itu dapat menjadi wali nikah yang menggantikan wali nasab, jika wali qorib atau wali nasab itu sudah tidak ada, atau mereka dalam keadaan ‘Adlal atau menghalang-halangi tanpa sebab yang dapat dibenarkan. Dan begitu pula apabila wali nasab itu sedang berada dalam tempat yang berlainan da jauh yang mencapai dua marhalah (sekitar 60 KM) perjalanan.
Dua hal tersebut dapat sesuai dengan kondisi si perempuan itu, yakni sudah dewasa, mampu dan juga sehat akalnya juga karena ia sedang dalam jarak yang jauh yang tidak memungkinkan wali nasabnya untuk ada dalam akad pernikahanya. Maka pernikahan yang dilangsungkan antara perempuan itu (Nurmi) dengan mahasiswa (Sufyan Tsauri) adala sah secara hukum syara’.
Namun demikian pernikahan tersebut juga harus disesuaikan pada aspek dan tujuan dan manfaat atau hakekat perkawinan itu sendiri, sehingga bukan hanya karena nafsu semata tetapi atas dasar kebutuhan manusiawi sesuai dengan asas qoidah fiqhiyyah
الأمور بمقاصدها
Artinya: suatu urusan itu tergantung dengan nait dan tujuannya.
Maka walaupun dalam kedaan sebagimana telah dijelaskan diatas, yakni tanpa menyertakan wali dalm akad pernikahan mereka, tetap didasarkan pada niat dan tujuan syara’. Selain itupun pernikahan tersebut pula diharapkan agar menjadi solusi untuk tidak terjerumus ke dalam madlarat yang lebih lagi, seperti perzinaan antar keduanya. Sebagaimana yang dimaksudkan dalam qoidah fiqhiyyah
لا ضرر و لا ضرار
Artinya: tidak boleh ada bahaya dan juga membahayakan.
Dengan demikian pernikahan antara mahasiswa asal Indomesia dengna wanita tersebut yang sudah sama-sama dewasa adalah sah dan sesuai dengan niat yang baik dan maksud dan tujuan dari pernikahan tersebut.
Maka pada kesimpulan akhirnya bahwa wali tetap menjadi keharusan dalam setiap akad nikah, sehingga batal tanpa kehadirannya. Namun dalam keadaan tertentu keharusannya dapat bergeser menjadi sesuatu yang tidak diharuskan karena alasan-alasan yang dapat dibenarkan. Karena pada intinya hukum itu selalu meliputi alasan yang menyertainya.
الحكم يدور مع العلة.

تمت هذه المقالة الانشائية بكلمة الحمد الله















DAFTAR PUSTAKA
Al-Mawardi, Al-Jawi al-Kabir, Bierut –Libanon, Daar al-Kutub al-Ilmiyah, 1994

Kompilasi Hukum Islam Indonesia, Direktorat Pembinaan Peradilan Agama Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji, Departemen Agama R.I, 2002

Rusyd, Ibnu, Bidâyatu al-Mujtahid wa Nihâyatu al-Muqtasid, Semarang, Maktabah Usaha Semarang, t.th.

Syarifuddin, Amir, Hukum Perkawinan di Indonesia: Antara Fiqh Munakahat dan Undang-undang Perkawinan,Jakarta, Prenada Media, 2006

Zuhaili, Wahbah, Al-Fiqh al-Islâmiy wa Adillatuhu, Damaskus, Daar al-Fikri, 1984, juz ke-6









[1] Ibnu Rusyd, Bidayatu al-Mujtahid wa Nihayatu al-Muqtashid, (Semarang,: Maktabah Usaha Semarang, t.th), juz-2, h. 6
[2] Al-Mawardi, Al-Jawi al-Kabir, (Bierut –Libanon: Daar al-Kutub al-Ilmiyah, 1994), h. 61-62
[3]Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia: Antara Fiqh Munakahat dan Undang-undang Perkawinan, (Jakarta, Prenada Media, 2006), h. 72
[4] Wahbah Zuhaili, Al-Fiqh al-Ialaamiy wa Adillatuhu, (Damaskus, Daar al-Fikri, 1984, juz ke-6), h. 218

0 komentar:

Posting Komentar

 
Copyright 2010 Perbandingan Mazhab dan Hukum. Powered by PMH
Blogger Templates created by Waay S.Hi
Wordpress by Kajur*Sekjur*IKALUIN-FSH