Oleh:
MOH. NAJIB
NIM: 105043101305
I. PENDAHULUAN
Di tengah-tengah masyarakat kita sering terdengar tentang istilah kawin kontrak. Sebuah perkawinan yang didasarkan pada kesepakatan untuk mengadakan ikatan lahir batin suami istri, yang mana ikatan perkawinannya disandarkan pada waktu tertentu yang sudah disepakati. Kita juga sering mendengar dan menemui tentang istilah nikah mut’ah. Bagaimana pandangan para ulama terhadap model kawin mut’ah atau kawin sementara ini. Dan bagaimana status anak (perempuan) dari hasil hubungan tersebut terkait dengan perwaliannya dalam praktek nikah nanti.
A. Pengertian Nikah Mut’ah
Kawin kontrak atau kawin perjanjian merupakan tradisi masyarakat jahiliyah, yang dalam hukum Islam biasa disebut sebagai istilah نكاح المتعة , الزواج المؤقت (perkawinan temporer), atau الزواج المنقطع (perkawinan terputus)[1]
Nikah mut’ah adalah sebuah bentuk pernikahan yang dibatasi dengan perjanjian waktu dan upah tertentu tanpa memperhatikan perwalian dan saksi, untuk kemudian terjadi perceraian apabila telah habis masa kontraknya tanpa terkait hukum perceraian dan warisan.
Sayyid Sabiq mengatakan:
نكاح المتعة, أن يعقد الرجل على المراة يوما أو أسبوعا أوشهرا, ويسمى بالمتعة, لأ ن الرجل ينتفع ويتبلغ بالزواج ويتمتع الى الأجل الذى وقته.
Artinya:
“Perkawinan mut’ah adalah adanya seorang pria mengawini wanita selama sehari, atau seminggu, atau sebulan. Dan dinamakan mut’ah karena laki-laki mengambil manfaat serta merasa cukup dengan melangsungkan perkawinan dan bersenang-senang sampai kepada waktu yang telah ditentukannya.[2]
B. Hukum Nikah Mut’ah
Memang benar bahwa nikah mut’ah ini pernah dibolehkan ketika awal Islam, tapi kemudian diharamkan, sebagaimana dinyatakan oleh al-Imam an-Nawawi dalam kitabnya Syarh Shahih Muslim:
وَالصَّوَاب الْمُخْتَار أَنَّ التَّحْرِيم وَالْإِبَاحَة كَانَا مَرَّتَيْنِ، وَكَانَتْ حَلَالًا قَبْل خَيْبَر ، ثُمَّ حُرِّمَتْ يَوْم خَيْبَر، ثُمَّ أُبِيحَتْ يَوْم فَتْح مَكَّة وَهُوَ يَوْم أَوْطَاس، لِاتِّصَالِهِمَا، ثُمَّ حُرِّمَتْ يَوْمئِذٍ بَعْد ثَلَاثَة أَيَّام تَحْرِيمًا مُؤَبَّدًا إِلَى يَوْم الْقِيَامَة، وَاسْتَمَرَّ التَّحْرِيم
“yang benar dalam masalah nikah mut’ah ini adalah bahwa pernah dibolehkan dan kemudian diharamkan sebanyak dua kali; yakni dibolehkan sebelum perang Khaibar, tapi kemudian diharamkan ketika perang Khaibar. Kemudian dibolehkan selama tiga hari ketika fathu Makkah, atau hari perang Authas, kemudian setelah itu diharamkan untuk selamanya sampai hari kiamat”.
Alasan kenapa ketika itu dibolehkan melaksanakan nikah mut’ah, karena ketika itu dalam keadaan perang yang jauh dari istri, sehingga para sahabat yang ikut perang merasa sangat berat. Dan lagi pada masa itu masih dalam masa peralihan dari kebiasaan zaman jahiliyah. Jadi wajar jika Allah memberikan keringanan (rukhshah) bagi para sahabat ketika itu.
Untuk menentukan status hukum tentang nikah mut’ah, maka dapat diklasifikasikan menjadi beberapa macam pendapat sebagai berikut:
- Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’i, Imam al-Laits dan Imam al-Auza’i mengatakan: perkawinan (nikah) mut’ah itu hukumnya haram. pendapat ini didasarkan pada beberapa hadis yang antara lain berbunyi:
ان رسول الله صلى الله عليه وسلم حرم المتعة, فقا ل: أيها الناس انى كنت أذنت لكم فى الاستمتاع, ألا وان الله قد حرمها الى يوم القيامة. (رواه ابن ماجه)
“Bahwasannya Rasulullah saw. mengharamkan kawin mut’ah, maka ia berkata: Wahai manusia, sesungguhnya aku pernah mengizinkan kamu sekalian kawin mut’ah. Maka sekarang ketahuilah, bahwa Allah mengharamkannya sampai hari kiamat.” (HR. Ibnu Majah).
- Pengikut Madzhab Syi’ah mengatakan: nikah mut’ah dibolehkan dalam agama. Pendapat ini didasarkan pada hadis yang berbunyi:
أن عمر قال: متعتان كانتاعلى عهد رسول الله صل الله عليه وسلم, أفأنهى عنهما وأعا قب عليها؟ متعة النساء ومتعة الحج, ولأنه عقد على منفعة فيكون مؤقتا كالاجارة.
“Bahwasannya Umar berkata: Dua macam perkawinan mut’ah (yang pernah terjadi) di masa Rasulullah saw. maka dapatkah aku melarangnya dan memberikan sangsi hukum terhadap pelakunya? (keduanya itu) adalah perkawinan mut’ah terhadap wanita (di waktu tidak bepergian) dan kawin mut’ah (pada waktu bepergian) menunaikan ibadah haji. Karena hal itu, merupakan perkawinan yang berguna (pada saat tertentu), maka perlu menentukan waktu berlakunya seperti halnya sewa-menyewa.”
Dan pendapat ini pula mengikuti penetapan ahli hukum dari kalangan sahabat antara lain: Ibnu Abbas, Atha dan Abu Sa’id al-Khudriyyi.
- Imam Zufar berkata, perkawinan mut’ah hukumnya sah, meskipun syaratnya batal. Oleh karena itu, dibolehkan dalam ajaran Islam. Dikatakan sah karena keterangan hadis yang dikemukakan oleh pengikut Madzhab Syi’ah di atas, tetapi syaratnya batal karena tidak disertai dengan niat kawin untuk selama-lamanya, kecuali hanya waktu sementara saja.[3]
II. STATUS ANAK HASIL NIKAH MUT’AH
Dalam Islam, tujuan disyari’atkannya suatu hukum (maqasid al-syari’ah) tiada lain untuk kemaslahatan umatnya. Sehingga melihat dari beberapa pendapat di atas tentu ada yang lebih relevan untuk dijadikan pegangan hidup di masa sekarang ini, yaitu pendapat jumhur ulama (Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’i, Imam al-Laits dan Imam al-Auza’i) yang mengatakan bahwa nikah mut’ah (kawin kontrak) hukumnya adalah haram. Karena dalam prakteknya jelas pernikahan ini hanya bertujuan untuk melampiaskan nafsu birahi semata, tanpa bermaksud meraih tujuan nikah sesungguhnya yaitu untuk menciptakan keluarga yang sakinah, mawaddah wa rahmah atas perintah dan ridla Allah swt. Sebagaimana firman-Nya dalam al-Qur’an surat an-Nur ayat 21 yang berbunyi:
ô`ÏBur ÿ¾ÏmÏG»tƒ#uä ÷br& t,n=y{ /ä3s9 ô`ÏiB öNä3Å¡àÿRr& %[`ºurø—r& (#þqãZä3ó¡tFÏj9 $ygøŠs9Î) Ÿ@yèy_ur Nà6uZ÷t/ Zo¨Šuq¨B ºpyJômu‘ur 4 ¨bÎ) ’Îû y7Ï9ºsŒ ;M»tƒUy 5Qöqs)Ïj9 tbrã©3xÿtGtƒ ÇËÊÈ
Artinya:
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah, Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir. (QS. an-Nur: 21)
Imam al-Baihaqi menukilkan dari Ja’far bin Muhammad (al-Baqir) bahwa beliau pernah ditanya tentang nikah mut’ah maka beliau menjawab, “itu adalah perbuatan zina”. Sehingga dalam hal ini nikah mut’ah berarti sama halnya dengan melakukan praktik perzinahan yang dikemas sedemikian rupa, yang secara tidak langsung telah melegalkan praktek pelacuran yang hina.
Dari paparan pendapat di atas kiranya dapat di ambil kesimpulan bahwa ketika dari jalinan hubungan nikah mut’ah tersebut sampai melahirkan keturunan, maka anak tersebut statusnya adalah anak zina. Dan untuk wali nikah anak (perempuan) tersebut tidak bisa diwalikan oleh bapak biologisnya (pelaku nikah mut’ah), karena pernikahannya tidak sah secara hukum, bahkan terlarang atau haram. Sehingga perwaliannya dipindahtangankan kepada wali hakim.
III. WALI NIKAH ATAS ANAK HASIL NIKAH MUT’AH
Perwalian dalam masalah nikah menurut pendapat yang rajih, yaitu jumhur ulama (Imam Madzhab; Imam Syafi’i, Imam Malik, dan Imam Ahmad bin Hanbal) berpendapat bahwasannya “wali” menjadi syarat sahnya nikah, bagi wanita yang dewasa baik masih gadis maupun janda.[4] Pendapat ini berdasarkan interpretasi dari firman Allah swt. sebagaimana yang termaktub dalam al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 234 yang berbunyi:
#sŒÎ*sù z`øón=t/ £`ßgn=y_r& Ÿxsù yy$oYã_ ö/ä3øŠn=tæ $yJŠÏù z`ù=yèsù þ’Îû £`ÎgÅ¡àÿRr& Å$râ÷êyJø9$$Î/ 3 ª!$#ur $yJÎ/ tbqè=yJ÷ès? ׎Î6yz ÇËÌÍÈ Artinya:
“Kemudian apabila telah habis 'iddahnya, Maka tiada dosa bagimu (para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka(berhias, bepergian, atau menerima pinagan) menurut yang patut. Allah mengetahui apa yang kamu perbuat.” (QS. al-Baqarah: 234)
Mereka mengatakan bahwa ayat ini khithabnya ditujukan kepada para wali. Karena jika mereka tidak mempunyai hak dalam perwalian tentu mereka tidak dilarang untuk menghalang-halangi.
Ayat lainnya adalah:
Ÿwur (#qßsÅ3Zè? tûüÏ.ÎŽô³ßJø9$# 4Ó®Lym (#qãZÏB÷sム4
Artinya:
“Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman.“ (QS. al-Baqarah: 221)
Dan di antara hadis-hadis yang menjadi alasan mereka adalah hadis yang diriwayatkan oleh ‘Aisyah ra.:
حدثنا محمد بن كثير أخبرنا سفيان أخبرنا ابن جريج عن سليمان بن موسى عن الزهري عن عروة عن عائشة قالت
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم أيما امرأة نكحت بغير إذن مواليها فنكاحها باطل ثلاث مرات فإن دخل بها فالمهر لها بما أصاب منها فإن تشاجروا فالسلطان ولي من لا ولي له (رواه ابي داود)
Artinya:
“…‘Aisyah berkata: Rasulullah saw. bersabda, “siapa pun wanita yang kawin tanpa seizin walinya, maka nikahnya itu batal (diucapkan tiga kali). Jika suaminya telah menggaulinya, maka maharnya adalah untuknya (wanita) karena apa yang telah diperoleh daripadanya. Kemudian apabila mereka bertengkar, maka penguasa menjadi wali bagi orang yang tidak mempunyai wali.” (HR. Abu Daud)
Keharusan adanya wali untuk perempuan yang akan menikah sangatlah relevan, karena dari segi status sosial wanita cenderung lebih lemah dibandingkan dengan kaum lelaki, selain itu wanita selalu mengedepankan perasaan dalam banyak prilaku kehidupannya, juga kondisi psikisnya yang sangat mudah labil. Dan dalam sebuah pernikahan tentulah memiliki tujuan-tujuan tertentu. Sehingga tepat kiranya ulama yang berpendapat tentang keharusan adanya wali bagi wanita yang akan melangsungkan pernikahan demi kemaslahatan yang layak dicapai dikemudian hari.
Kaitannya dengan perwalian sebagai syarat sahnya dalam masalah pernikahan sebagaimana pendapat jumhur ulama di atas, juga di dukung oleh undang-undang Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 19 yang berbunyi:
“Wali nikah dalam perkawinan merupakan rukun yang harus dipenuhi bagi calon mempelai wanita yang bertindak untuk menikahkannya.”
Dan Pasal 20:
”(1) Yang bertindak sebagai wali nikah ialah seorang laki-laki yang memenuhi syarat hukum Islam yakni muslim, akil dan baligh
(2) Wali nikah terdiri dari: a. Wali nasab b. Wali hakim”[5]
Yang dimaksud dengan wali nasab urutannya adalah sebagai berikut:
1. Ayah kandung
2. Kakek, atau ayah dari ayah
3. Saudara se-ayah dan se-ibu
4. Saudara se-ayah saja
5. Anak laki-laki dari saudara yang se-ayah dan se-ibu
6. Anak laki-laki dari saudara yang se-ayah saja
7. Saudara laki-laki ayah
Dan dalam kasus di atas, telah diketahui bahwa anak hasil dari hubungan nikah mut’ah sama halnya dengan anak zina, karena pernikahannya tidak sah secara hukum. Oleh karena nasab anak bukan pada bapak biologis, melainkan pada ibu. Seperti yang dijelaskan pula dalam undang-undang perkawinan yang menyebutkan dalam Pasal 43:
“(1) Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya.”[7]
Kaitannya dalam ajaran Islam bahwa urutan yang berhak menjadi wali tidak menyebutkan seorang Ibu (wanita), sehingga dalam hal ini perwalian anak tersebut dipindahtangankan kepada wali hakim, Sebagaimana hadis ‘Aisyah berikut ini:
فالسلطان ولي من لا ولي له
“…maka penguasa menjadi wali bagi orang yang tidak mempunyai wali”
Yang dimaksud penguasa (sulthan) terkait dalam masalah ini yang berwenang adalah pihak Kantor Urusan Agama (KUA).
Ketentuan wali hakim pun diatur dalam KHI pasal 23, sebagai berikut:
(1) “Wali hakim baru dapat bertindak sebagai wali nikah apabila wali nasab tidak ada atau tidak mungkin menghadirinya atau tidak diketahui tempat tinggalnya atau ghaib atau adlal atau enggan.”[8]
IV. KESIMPULAN
Kiranya dapat dipahami, bahwa kebolehan atau kehalalan dari praktek nikah mut’ah hanya terjadi pada zaman Rasulullah saw. itupun pada saat dan waktu tertentu saja dan atas pertimbangan yang dapat dibenarkan secara syar’i. Dan di zaman Rasulullah saw. pulalah, berdasarkan atas seruan beliau sebagaimana yang tertulis di dalam hadis yang mengatakan bahwa nikah mut’ah adalah tindakan yang haram dilakukan sampai hari kiamat nanti.
Sehingga jika di era sekarang ini masih ada pelaku nikah mut’ah, jelas bahwa itu perbuatan yang melanggar syari’at Islam bahkan norma-norma kehidupan lainnya. Dan bisa dikategorikan sebagai perzinahan berkedok, karena mencari legitimasi dari tindak pelampiasan naluri seks semata yang dikemas dalam bentuk pernikahan. Selain itu, bahwa perbuatan tersebut tidak sesuai dengan tujuan dari pernikahan yang suci, yaitu untuk meraih suasana sakinah mawaddah wa-rahmah bersama pasangan selama-lamanya sebagaimana telah disyari’atkan Allah swt. dalam kitab suci-Nya. Tidak untuk waktu sementara atau yang ditentukan seperti pada niatan nikah mut’ah.
Tentunya, dari keharaman nikah mut’ah itu jika masih dilakukan dan sampai menghasilkan keturunan (anak), maka status anak tersebut sama halnya dengan anak zina. Nasabnya bukan disambungkan pada bapak melainkan pada ibunya. Sehingga jika anak (perempuan) hendak melakukan pernikahan, maka yang berhak menjadi walinya adalah wali hakim dalam hal ini adalah pihak KUA.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’an al-Karim dan Terjemahnya. Jakarta : Departemen Agama Republik Indonesia , 1992.
Mughniyah, Muhammad Jawad. Fiqih Lima Madzhab. Penerjemah Masykur dkk. Jakarta : Lentera, 2008.
Mahjuddin. Masailul Fiqhiyah: Berbagai Kasus yang dihadapi “Hukum Islam” Masa Kini. Jakarta : Kalam Mulia, 2003.
Sabiq, Sayyid. Fikih Sunnah. Bandung : al-Ma’arif, 1997.
Rusd, Ibnu. Bidayatul Mujtahid. Semarang : as-Syifa 1990.
Kompilasi Hukum Islam (KHI).
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Majlis Ulama Indonesia (MUI), Hukum Kawin Kontrak/ Mut’ah, http://www.mui.or.id/ mui_in /konsultasi.php?id=10, akses tgl 05 September 2009
[1] Mahjuddin, Masailul Fiqhiyah: Berbagai Kasus yang dihadapi “Hukum Islam” Masa Kini, (Jakarta : Kalam Mulia, 2003), h. 51
[2] Sayyid Sabiq, Fiqhu al-Sunnah, (Beirut: Dar al-Fikr, 1980 M/1400 H), Juz II, h. 35
[3] Majlis Ulama Indonesia (MUI), Hukum Kawin Kontrak/ Mut’ah, http://www.mui.or.id/ mui_in /konsultasi.php?id=10, akses tgl 05 September 2009
[5] Kompilasi Hukum Islam (KHI)
[6] Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Madzhab, Penerjemah Masykur dkk., (Jakarta : Lentera, 2008), h. 347
[7] Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
[8] Kompilasi Hukum Islam (KHI)
0 komentar:
Posting Komentar