Oleh:
Andika Supriatna Sp
NIM: 102043124907
A. Pengertian Dan Dasar Hukum Perkawinan.
1. Pengertian Perkawinan
Pengertian nikah menurut istilah syara' banyak diberikan oleh para fuqaha dengan ungkapan kalimat yang berbeda-beda, namun mengandung maksud yang sama. Salah satu diantaranya adalah ulama yang bernama Abdurrahman al-Jaziri, beliau mendefinisikan nikah sebagai berikut : “Nikah adalah suatu akad yangg memberikan hak bersetubuh dengan menggunakan perkataan nikah atau tazwij atau arti dari keduanya."
Menurut Sayuti Thalib pengertian perkawinan ialah "perjanjian suci membentuk keluarga antara seorang pria dengan seorang wanita"[1]. Sedangkan Imam Syafi'i memberikan definisi nikah ialah "akad yang dengannya menjadi halal hubungan seksual antara pria dengan wanita."[2]
Dengan melihat berbagai pengertian diatas nikah mempunyai arti akad atau perjanjian, karena itu ada pendapat yang mengatakan nikah adalah "suatu perjanjian yang suci antara seorang laki-laki dan seorang perempuan untuk membentuk keluarga bahagia."[3]
Manusia adalah makhluk sosial dan sifatnya selalu ingin bergaul, hidup bersama dan saling membutuhkan “pada dasarnya manusia tidak sanggup hidup seorang diri”.[4] Menurut Aristoteles manusia adalah zoon politikon (makhluk bermasyarakat).[5]
Manusia diciptakan dengan fitrahnya yaitu mempunyai hajat hidup untuk menyalurkan libido seksualnya kepada lawan jenis. Hal ini merupakan kebutuhan biologis yang tidak dapat dipungkiri. Tuhan telah menciptakan manusia mempunyai perasaan cinta kepada lawan jenisnya
Muhammad al-Bahi mengemukakan bahwa cinta birahi merupakan faktor yang terpenting unntuk mendorong seseorang berhubungan kepada lawan jenisnya.[6]
Adapun cara penyaluran nafsu birahi yang paling baik ditempuh oleh manusia sebagai makhluk yang mempunyai martabat tinggi ialah melalui perkawinan. Ini berarti bahwa untuk mengolah dan memakmurkan bumi ini memerlukan adanya manusia yang banyak dan bersinambung generasi sampai akhir zaman. Dengan demikian, pengembangan keturunan manusia sangat diperlukan adanya. Disinilah pentingnya perkawinan, karena “adanya manusia tergantung adanya perkawinan”[7]
Menurut Sayuti Thalib pengertian perkawinan ialah “Perjanjian suci membentuk keluarga antara seorang pria dengan seorang seorang wanita”.[8]
Perkawinan mempunyai arti dan kedudukan yang sangat penting dalam tata kehidupan manusia. Sebab dengan perkawinan, dapat dibentuk ikatan hubungan pergaulan antara dua insan yang berlainan jenis secara resmi dalam suatu ikatan suami-isteri menjadi satu keluarga. Selanjutnya keluarga dapat terus berkembang menjadi kelompok masyarakat. Tujuan yang ingin dicapai dari perkawinan ialah mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat.
Dengan melihat tujuan dari suatu perkawinan, maka di Indonesia dibentuklah suatu Undang-undang perkawinan yang bertujuan untuk menciptakan suatu rumah tangga yang sakinah mawaddah wa rahmah, sehingga tercipta pula lingkungan masyarakat yang tidak semena-mena dan menyalahgunakan status pasangan dari suami isteri.
Undang-undang perkawinan pasal 2 ayat (1) menyatakan bahwa sah atau tidaknya suatu perkawinan ditentukan oleh hukum masing-masing agamanya. Pihak-pihak yang melangsungkan perkawinan harus tunduk dan telah memenuhi berbagai ketentuan dan persyaratan yang telah ditentukan oleh hukum agama. Maka dengan sendirinya perkawinan yang dilaksanakan dengan tidak berdasarkan hukum agama adalah tidak sah.
Karena perkawinan merupakan perbuatan / peristiwa hukum yang secara otomatis melahirkan akibat-akibat hukum serta diperlukan adanya kepastian hukum, maka pada pasal
Sejalan dengan prinsip “Menolak kemadharatan lebih didahulukan daripada memperoleh kemaslahatan” dan juga “suatu tindakan (peraturan) pemerintah, berintikan terjaminnya kepentingan dan kemaslahatan rakyatnya”
2. Dasar Hukum Perkawinan
Sebagai dasar hukum perkawinan yang utama adalah al-Qur'an. Banyak ayat-ayat al-Qur'an yang berbicara tentang masalah perkawinan, salah satunya terdapat pada surat an-Nisa' ayat 3:
فَا نْكِحُوْا مَا طَابَ لَكُمْ مِنْ النِّسِاءِ مَثْني وَثُلاَثي وَرُبَاعَ ......
Artinya: "…Maka kawinilah wanita-wanita lain yang kamu senangi, dua, tiga atau empat…" (Q.s al-Nisa': 3).
Ayat lain yang memerintahkan untuk melaksanakan perkawinan yaitu sebagaimana yang terdapat dalam surat an-Nur ayat 32:
"Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan…”
Dengan dua ayat tersebut, maka jelaslah bahwa ada dasar hukum mengenai perkawinan dalam Islam. Masih banyak lagi ayat-ayat yang mengindikasikan tentang perkawinan seperti terdapat dalam surat an-Nahl ayat 72, surat ar-Rum ayat 21, surat an-Nur 32, surat an-Nisa' 34 dan lain-lain.
Dengan demikian al-Qur'an pun sangat memperhatikan masalah perkawinan, hal ini bisa terlihat dengan banyaknya ayat-ayat al-Qur'an tentang perkawinan. Disamping al-Qur'an, sunnah Rasul pun memberikan penjelasan tentang perkawinan baik mengenai hal-hal yang tidak disinggung maupun mengenai hal-hal yang telah disinggung dalam al-Qur'an secara garis besar, sebagaimana sabda Rasulullah Saw yang diriwayatkan oleh Imam Bukhori :
"Dari Abdullah bin Mas'ud "Sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda kepada kami, "Wahai kaum muda! Barang siapa yang sudah mampu memberi nafkah, maka nikahlah. Karena sesungguhnya pernikahan itu dapat menjaga pandangan mata dan kehormatan farj. Barang siapa yangg tidak mampu, maka berpuasalah, karena berpuasa merupakan benteng baginya"
Hadits tersebut merupakan perintah untuk melakukan perkawinan sekaligus memperkuat al-Qur'an dalam hal perintah untuk menikah. Namun disamping memperkuat al-Qur'an, Hadits ini juga memberikan penjelasan bahwa yang diperintahkan itu adalah orang yang sudah mampu untuk kawin dan bagi orang yang belum mampu memberikan nafkah, ada solusi alternatif yaitu dengan jalan berpuasa.
Banyak lagi hadits dan ayat al-Qur'an yang tidak penulis sebutkan satu persatu. Meskipun banyak dari nash al-Qur'an dan Hadits yang merujuk pada dalil tentang perkawinan, selain dalil nash sebagai dasar hukum perkawinan masih diperlukan lagi ijtihad para fuqaha terhadap beberapa masalah yang perlu pemecahan untuk memperoleh ketentuan hukum, misalnya:
"Bagi orang yang sudah ingin kawin dan takut akan berbuat zina kalau tidak kawin, maka wajib ia mendahulukan kawin daripada menunaikan ibadah haji. Tetapi kalau ia tidak takut akan melakuakan zina, maka ia wajib mendahulukan haji daripada kawin. Juga dalam wajib kifayah yang lain, seperti menuntut ilmu dan jihad, wajib ditunaikan lebih dahulu daripada kawin. Sekiranya tidak ada kekhawatiran akan terjatuh dalam lembah perzinaan".[9]
Masih banyak lagi masalah-masalah yang tidak disinggung dalam al-Qur'an dan Hadits sehingga memerlukan ijtihad para fuqaha, karena hal yang demikian inilah maka dasar-dasar hukum perkawinan menurut Islan itu meliputi al-Qur'an, Hadits dan ijtihad para fuqaha.
3. Rukun dan Syarat Perkawinan
Perkawinan merupakan ikatan suci yang sarat nilai dan bertujuan mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan rahmah. Oleh karena itu, suatu perkawinan perlu diatur dengan rukun-rukun dan syarat-syarat tertentu, agar tujuan disyari'atkannya perkawinan tercapai. Berikut ini disebutkan rukun-rukun dan syarat-syarat perkawinan menurut ketentuan fiqh sebagaimana dikemukakan Khalil Rahman:[10]
a. Calon suami, syarat yang harus dipenuhi oleh calon suami adalah:
1. bukan mahram baik karena hubungan darah, karena .hubungan sepersususan atau karena hubungan semenda.
2. tidak beristeri lebih dari empat orang.
3. dengan kemauan sendiri.
4. tertentu orangnya.
5. seorang laki-laki (bukan wadam/banci).
6. mengetahui calon isterinya.
7. tidak sedang mengerjakan haji atau umrah.
8. seorang muslim.
b. Calon isteri, syarat yang harus dipenuhi adalah:
1. bukan mahram baik disebabkan karena hubungan darah, karena hubungan sepersusuan atau karena hubungan semenda
2. bukan isteri orang
3. tidak dalam masa tunggu
4. tidak dipaksa
5. seorang muslimah atau ahli kitab
6. tertentu orangnya
7. tidak sedang ihram atau umrah
8. tidak bersaudara, baik karena hubungan darah, karena sepersusuan maupun semenda, apabila wanita yang dikawini itu dijadikan isteri kedua, ketiga atau keempat.[11]
c. Adanya mahar,
d. Adanya wali
Sedangkan syarat-syarat wali:
1. laki-laki
2. dewasa
3. mempunyai hak perwalian
4. tidak terdapat halangan perwalian
e. Saksi nikah,
Syarat-syarat saksi:
1. minimal 2 orang laki-laki.
2. hadir dalam ijab-qabul
3. dapat mengerti maksud akad
4. Islam
5. dewasa
f. Ucapan sighat (akad perkawinan), syarat-syaratnya:
1. adanya pernyataan mengawinkan dari wali
2. adanya pernyataan penerimaan dari calon mempelai pria
3. memakai kata-kata nikah, tazwij atau terjemahan dari kata-kata nikah atau tazwij
4. antara ijab dan qabul bersinambungan
5. antara ijab dan qabul jelas maksudnya
6. orang yang terkait dengan ijab dan qabul tidak sedang ihram haji/umrah
7. majlis ijab dan qabul harus dihadiri minimal 4 orang: calon pria atau wakilnya, wali dari mempelai wanita atau wakilnya dan dua orang saksi
Rukun dan syarat perkawinan tersebut diatas wajib dipenuhi, apabila tidak terpenuhi maka perkawinan yang dilangsungkan tidak sah.
B. Pernikahan Dini Menurut Islam
Perkawinan mempunyai arti dan kedudukan yang sangat penting dalam tata kehidupan manusia. Sebab dengan perkawinan, dapat dibentuk ikatan hubungan pergaulan antara dua insan yang berlainan jenis secara resmi dalam suatu ikatan suami-isteri menjadi satu keluarga. Selanjutnya keluarga dapat terus berkembang menjadi kelompok masyarakat. Tujuan yang ingin dicapai dari perkawinan ialah mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat.
Istilah pernikahan dini adalah istilah kontemporer. Dini dikaitkan dengan waktu,yakni sangat di awal waktu tertentu. Lawannya adalah pernikahan kadaluwarsa. Bagi orang-orang yang hidup pada awal-awal abad ke-20 atau sebelumnya, pernikahan seorang wanita pada usia 13-14 tahun, atau lelaki pada usia 17-18 tahun adalah hal biasa, tidak istimewa. Tetapi bagi masyarakat kini, hal itu merupakan sebuah keanehan. Wanita yang menikah sebelum usia 20 tahun atau lelaki sebelum 25 tahun pun dianggap tidak wajar, "terlalu dini" istilahnya.
Hukum Islam secara umum meliputi lima prinsip yaitu perlindungan terhadap agama, jiwa, keturunan, harta, dan akal. Dari kelima nilai universal Islam ini, satu diantaranya adalah agama menjaga jalur keturunan (hifdzu al nasl). Oleh sebab itu, Syekh Ibrahim dalam bukunya al Bajuri menuturkan bahwa agar jalur nasab tetap terjaga, hubungan seks yang mendapatkan legalitas agama harus melalui pernikahan. Seandainya agama tidak mensyari’atkan pernikahan, niscaya geneologi (jalur keturunan) akan semakin kabur.
Terlepas dari semua itu, masalah pernikahan dini adalah isu-isu kuno yang sempat tertutup oleh tumpukan lembaran sejarah. Dan kini, isu tersebut kembali muncul ke permukaan. Hal ini tampak dari betapa dahsyatnya benturan ide yang terjadi antara para sarjana Islam klasik dalam merespons kasus tersebut.
Menurut Ibnu Syubromah bahwa agama melarang pernikahan dini (pernikahan sebelum usia baligh). Menurutnya, nilai esensial pernikahan adalah memenuhi kebutuhan biologis, dan melanggengkan keturunan. Sementara dua hal ini tidak terdapat pada anak yang belum baligh. Ia lebih menekankan pada tujuan pokok pernikahan.
Ibnu Syubromah mencoba melepaskan diri dari kungkungan teks. Memahami masalah ini dari aspek historis, sosiologis, dan kultural yang ada. Sehingga dalam menyikapi pernikahan Nabi Saw dengan Aisyah (yang saat itu berusia usia 6 tahun), Ibnu Syubromah menganggap sebagai ketentuan khusus bagi Nabi Saw yang tidak bisa ditiru umatnya.
Sebaliknya, mayoritas pakar hukum Islam melegalkan pernikahan dini. Pemahaman ini merupakan hasil interpretasi dari Surat al Thalaq ayat 4. Disamping itu, sejarah telah mencatat bahwa Aisyah dinikahi Baginda Nabi dalam usia sangat muda. Begitu pula pernikahan dini merupakan hal yang lumrah di kalangan sahabat.
Bahkan sebagian ulama menyatakan pembolehan nikah dibawah umur sudah menjadi konsensus pakar hukum Islam. Wacana yang diluncurkan Ibnu Syubromah dinilai lemah dari sisi kualitas dan kuantitas, sehingga gagasan ini tidak dianggap. Konstruksi hukum yang di bangun Ibnu Syubromah sangat rapuh dan mudah terpatahkan.
Imam Jalaludin Suyuthi pernah menulis dua hadis yang cukup menarik dalam kamus hadisnya. Hadis pertama adalah ”Ada tiga perkara yang tidak boleh diakhirkan yaitu shalat ketika datang waktunya, ketika ada jenazah, dan wanita tak bersuami ketika (diajak menikah) orang yang setara/kafaah”.[12]
Hadis Nabi kedua berbunyi, ”Dalam kitab taurat tertulis bahwa orang yang mempunyai anak perempuan berusia 12 tahun dan tidak segera dinikahkan, maka anak itu berdosa dan dosa tersebut dibebankan atas orang tuanya”.[13]
Pada hakekatnya, penikahan dini juga mempunyai sisi positif. Kita tahu, saat ini pacaran yang dilakukan oleh pasangan muda-mudi acapkali tidak mengindahkan norma-norma agama. Kebebasan yang sudah melampui batas, dimana akibat kebebasan itu kerap kita jumpai tindakan-tindakan asusila di masyarakat. Fakta ini menunjukkan betapa moral bangsa ini sudah sampai pada taraf yang memprihatinkan. Hemat penulis, pernikahan dini merupakan upaya untuk meminimalisir tindakan-tindakan negatif tersebut. Daripada terjerumus dalam pergaulan yang kian mengkhawatirkan, jika sudah ada yang siap untuk bertanggungjawab dan hal itu legal dalam pandangan syara’.
C. Pernikahan Usia Dini menurut Undang-Undang
Berdasarkan pasal 45 KUHP, dan berdasarka Undang-Undang Peradilan Anak.
“Jika seorang yang di bawah umur dituntut karena melakukan tindak pidana ketika umurnya belum cukup 16 tahun, hakim boleh memerintahkan supaya anak tersebut dikembalikan kepada orang tuanya, walinya atau pemeliharanya dengan tidak dikenakan suatu hukuman, atau memerintahkannya supaya diserahkan pemerintah dengan tidak dikenakan sesuatu hukuman”
Berdasarkan pasal 45 KUHP di atas, pengertian anak adalah seorang yang di bawah umur adalah yang berusia belum 16 tahun.
Undang-undang negara kita telah mengatur batas usia perkawinan. Dalam Undang-undang Perkawinan bab II pasal 7 ayat 1 disebutkan bahwa perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak perempuan sudah mencapai umur 16 (enam belas tahun) tahun.[14]
Kebijakan pemerintah dalam menetapkan batas minimal usia pernikahan ini tentunya melalui proses dan berbagai pertimbangan. Hal ini dimaksudkan agar kedua belah pihak benar-benar siap dan matang dari sisi fisik, psikis dan mental.
Dari sudut pandang kedokteran, pernikahan dini mempunyai dampak negatif baik bagi ibu maupun anak yang dilahirkan. Menurut para sosiolog, ditinjau dari sisi sosial, pernikahan dini dapat mengurangi harmonisasi keluarga. Hal ini disebabkan oleh emosi yang masih labil, gejolak darah muda dan cara pikir yang belum matang. Melihat pernikahan dini dari berbagai aspeknya memang mempunyai banyak dampak negatif. Oleh karenanya, pemerintah hanya mentolerir pernikahan diatas umur 19 tahun untuk pria dan 16 tahun untuk wanita.
D. Kesimpulan
Substansi hukum Islam adalah menciptakan kemaslahatan sosial bagi manusia pada masa kini dan masa depan. Hukum Islam bersifat humanis dan selalu membawa rahmat bagi semesta alam. Apa yang pernah digaungkan Imam Syatiby dalam magnum opusnya ini harus senantiasa kita perhatikan. Hal ini bertujuan agar hukum Islam tetap selalu relevan dan mampu merespon dinamika perkembangan zaman.
Permasalahan berikutnya adalah baik kebijakan pemerintah maupun hukum agama sama-sama mengandung unsur maslahat. Pemerintah melarang pernikahan usia dini adalah dengan pelbagai pertimbangan di atas. Begitu pula agama tidak membatasi usia pernikahan, ternyata juga mempunyai nilai positif. Sebuah permasalahan yang cukup dilematis.
Menyikapi masalah tersebut, penulis teringat dengan gagasan Izzudin Ibn Abdussalam dalam bukunya Qowa’id al Ahkam. Beliau mengatakan jika terjadi dua kemaslahatan, maka kita dituntut untuk menakar mana maslahat yang lebih utama untuk dilaksanakan.
Kaedah tersebut ketika dikaitkan dengan pernikahan dini tentunya bersifat individual-relatif. Artinya ukuran kemaslahatan di kembalikan kepada pribadi masing-masing. Jika dengan menikah usia muda mampu menyelamatkan diri dari kubangan dosa dan lumpur kemaksiatan, maka menikah adalah alternatif terbaik. Sebaliknya, jika dengan menunda pernikahan sampai pada usia ”matang” mengandung nilai positif, maka hal itu adalah yang lebih utama.
Daftar Pustaka
1. Sayuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia, (Jakarta : UI Press, 1986), Cet. V.
2. M. Idris Ramulyo, Beberapa Masalah Tentang Hukum Acara Peradilan Agama dan Perkawinan Islam, (Jakarta : Hill.Co., 1984)
3. Anwar Haryono, Hukum Islam Keluasan dan Keadilannya, (Jakarta: Bulan Bintang, 1988).
4. Gerungan, Psychologi Social, (Jakarta:PT. Erasco, 1978)
5. Simorangkir dan Woeryono Sastropranoto, Pelajaran Hukum Indonesia, (Jakarta: Gunung Agung, 1972).
6. Muhammad al-Bahi, Al-fikr al-Islamy wa al-Mujtami’ al-Ma’ashir (Jakarta: Dar al-Qoumiyah, t.t)
7. Ali Ahmad al_jurjani, Hikmah Tasyri’ wa Falsafatuhu (Mesir; Jami’atu al-Ilmiyati, 1961).
8. Sayuti Talib, Hukum Kekeluargaan Indonesia, (Jakarta; UI Press, 1986).
9. Abi Abdillah Muhammad bin Abi Hasan Isma'il bin Ibrahim bin Bardizbah, Matan Bukhari, (Singapura: Sulaiman Mar'i, t.t), Jilid. III.
10. Al-Kahlani, Subulu as-Salami, (Mesir: Mustafa al- Babi al-Halabi wa Auladuhu, 1960), Juz III.
11. Moh. Thalib, Fiqh Sunnah Terjemah, (Bandung : PT Al-Ma'arif, 1981), Jilid ke-6, Cet. II.
12. Kholil Rahman, Hukum Perkawinan Islam (Diktat tidak diterbitkan), (Semarang: IAIN Wali Songo, tt),
13. Bakri A. Rahman dan Ahmad Sukardja, Hukum Perkawinan Menurut Islam, Undang-undang Perkawinan dan Hukum Perdata, (Jakarta : PT Hidakarya Agung, 1981), Cet. I,
14. Jalaluddin Suyuthi, Jami’ al Shaghir, Darul Kutub Ilmiah, Beirut .
15. Undang-Undang Perkawinan, di www.depag.go.id
[2] M. Idris Ramulyo, Beberapa Masalah Tentang Hukum Acara Peradilan Agama dan Perkawinan Islam, (Jakarta : Hill.Co., 1984), h. 2
[5] Simorangkir dan Woeryono Sastropranoto, Pelajaran Hukum Indonesia, (Jakarta: Gunung Agung, 1972), hal. 1
[6] Muhammad al-Bahi, Al-fikr al-Islamy wa al-Mujtami’ al-Ma’ashir (Jakarta: Dar al-Qoumiyah, t.t) hal. 8
[10] Kholil Rahman, Hukum Perkawinan Islam (Diktat tidak diterbitkan), (Semarang: IAIN Wali Songo, tt), h. 31-32
[11] 12 Bakri A. Rahman dan Ahmad Sukardja, Hukum Perkawinan Menurut Islam, Undang-undang Perkawinan dan Hukum Perdata, (Jakarta : PT Hidakarya Agung, 1981), Cet. I, h. 23-24.
10 komentar:
http://everytimeisshare.blogspot.com/
follow my blog
plus komen" ya :)
terimakasih atasilmu nta, saya jadi tambah tahu
terimakasih atasilmu nta, saya jadi tambah tahu
Wow, this paragraph is nice, my ѕiѕter іѕ analyzing these kinds of things, sο
I am going to convey her.
My hοmepage how to flip cars for money
Heya і'm for the first time here. I found this board and I find It really useful & it helped me out much. I hope to give something back and help others like you helped me.
Feel free to surf to my blog post: how to make money buying and selling cars
Ahaa, its fastidіouѕ discuѕsion οn the topic of this
aгtiсle here at thiѕ weblog, Ӏ
have гeаd all that, so at this time me
also cοmmеnting at this plаce.
Ѕtop by my web site: seo companies dallas
I thіnk the аdmіn οf this site is truly working hаrd іn favоr of his web page, for the геаson that here еvеry material is quality basеd ѕtuff.
Feel free to νisіt mу homepage - search engine optimization consultant dallas
There is definately a great deal to know about this subject.
I love all the points you have made.
My web blog :: http://www.pregnancyhelper.in/
When Ι initially cοmmеnted I cliсked the "Notify me when new comments are added" сheckbох and now each time a comment іs aԁded I get four e-mails with thе samе comment.
Is theгe anу way you can remoѵе people from thаt sеrvice?
Cheегѕ!
Reνiеw mу web page - tensunitsupplies.com
Syukron, saya minta.
Posting Komentar