Selamat datang di Jurnal Perbandingan Mazhab dan Hukum

Minggu, 11 Oktober 2009

WALI NIKAH ANAK YANG LAHIR AKIBAT HUBUNGAN DI LUAR NIKAH (Studi Kasus di daerah Jatiasih)


Oleh:
Andri Wahyudi
NIM: 105043101293

A. PENDAHULUAN
Dalam kehidupan sehari-hari banyak kita temukan berbagai macam permasalahan yang timbul terutama dalam masalah pernikahan. Melihat realitas yang terjadi saat ini serta pergaulan muda mudi masa kini banyak kita temukan terjadinya kasus-kasus perzinahan yang berujung kepada terjadinya pernikahan dimana mempelai wanitanya dalam kondisi hamil dan setelah itu lahirlah anak yang kemudian dipertanyakan statusnya artinya disini siapakah yang akan menjadi wali nikahnya nanti. Hal ini mungkin banyak dianggap sepele oleh sebagian kalangan yang notabenenya kurang memahami masalah agama sehingga tidak mempersoalkan lagi masalah tersebut serta menganggap hal tersebut merupakan hal yang benar dan biasa terjadi dikalangan mereka.


Padahal kalau kita merujuk kembali kepada masalah agama terutama dalam masalah pernikahan maka ketika kita melihat syarat sahnya suatu pernikahan adalah harus adanya wali[1], maka jika terjadi dalam suatu pernikahan walinya tidak sah maka akan berpengaruh kepada sah tidaknya suatu pernikahan dan implikasinya ketika suatu pernikahan tidak sah maka hubungan yang dijalani tersebut pun akan menjadi suatu hubungan perzinahan dan hal ini akan terjadi terus sampai generasi seterusnya. Menyikapi hal tersebutlah penulis akan coba memaparkan hal yang terjadi di daerah tertentu yang kemudian penulis akan menganalisa dari aspek hukum islam serta hukum positif yang berlaku di Indonesia di mana pada akhirnya penulis akan memaparkan hukum mengenai hal tersebut.

B. DUDUK PERKARA MASALAH
Di daerah tempat penulis tinggal yaitu tepatnya di salah satu daerah di jatiasih, penulis pernah mendapatkan kasus di mana ada pasangan yang berawal dari hubungan pacaran biasa kemudian berkembang ke arah pertunangan atau dengan kata lain sudah dilamar. Ketika sudah dilamar mungkin dari kedua belah pihak keluarga tersebut sudah menganggap hubungan kedua pasangan tersebut telah sah sehingga orang tua dari mempelai wanita ketika calon prianya berkunjung ke kediaman perempuan maka tidak mempermasalahkan lagi jika si calon pria tersebut menginap di rumah si perempuan tersebut walaupun satu kamar. Hal seperti inliah yang kemudian mengakibatkan hamilnya si calon wanita sebelum dilangsungkannya pernikahan dan setelah usia kandungannya tiga bulan setengah baru dilangsungkannya pernikahan. Lalu lima bulan kemudian anak tersebut lahir. kemudian ketika anaknya tersebut lahir serta tumbuh dewasa dan kemudian menikah maka lelaki tersebutlah ( yang dianggap sebagai bapaknya ) yang kemudian menjadi walinya. Padahal kalau kita melihat kasus diatas, anak yang lahir tersebut adalah anak yang lahir dari hubungan di luar nikah atau dengan kata lain bisa kita sebut dengan anak zina.

C. ANALISA MASALAH
Dari kasus diatas kita dapat mengambil suatu pelajaran yang sangat besar dimana dalam hal ini kita akan menemukan masalah yaitu apakah yang dianggap sebagai bapaknya itu bisa menjadi wali bagi anak perempuan yang berasal dari hubungan di luar nikah tersebut. Untuk menjawab masalah apakah lelaki yang dianggap sebagai bapaknya itu bisa menjadi wali untuknya atau tidak ataupun siapakah yang akan menjadi wali dari anak tersebut maka terlebih dahulu kita harus melihat dulu kepada siapa anak tersebut dibangsakan atau dinasabkan, apakah kepada ibunya atau kepada lelaki yang telah menghamili ibunya tersebut (bapaknya).
Dalam hukum islam para ulama berbeda pendapat tentang masalah siapa yang menjadi wali nikah bagi anak zina atau anak yang berasal dari hubungan di luar nikah. Dalam hal ini ulama sepakat anak yang lahir karena perzinahan tetap mempunyai hubungan nasab dengan ibunya. Akan tetapi mereka berbeda pendapat dalam menetapkan hubungan nasab dengan ayahnya. Apakah anak-anak yang lahir karena hubungan di luar nikah itu menjadi anak yang sah bagi ayahnya atau tidak.
Menurut imam Syafi’i, imam Malik dan kawan-kawan ; apabila salah seorang laki-laki mengawini seorang perempuan yang belum pernah dikumpulinya atau sudah pernah, maka bila waktu kurang dari enam bulan dari akad perkawinannya perempuan tersebut melahirkan anak (bukan dari masa berkumpulnya), anak yang dilahirkannya itu tidak dapat dipertalikannya nasabnya kepada seorang laki-laki yang menyebabkan perempuan itu mengandung. Perhitungan enam bulan ini dihitung dari waktu berkumpul. Sedangkan imam Abu Hanifah memilih akad nikah sebagai dasar perhitungan enam bulan tersebut dimana konsekuensinya ketika anak tersebut lahir kurang dari enam bulan di hitung dari akad nikah maka anak itu tidak bisa dipertalikan nasab kepada ayahnya[2].
Menurut imam As-Syaukani dalam kitab Nailul Awthar, perselisihan ulama dalam menetapkan status anak hasil perzinahan itu karena mereka berbeda dalam mengartikan kata firasy yang terdapat pada hadis yang diriwayatkan oleh jama’ah ahli hadis. Hadis tersebut adalah sebagai berikut[3] :
عن ابي هريرة رضي الله عنه قال : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم الولد للفراش وللعاهر الحجر. ( رواه الجماعة الا ابا داود ), وفى لفظ للبخارى لصاحب الفراش
“ Anak (hasil zina) adalah milik orang yang seranjang (seketiduran) dan bagi pezina adalah hukuman rajam (HR. Jama’ah kecuali Abu Daud) . dan dalam keterangan Bukhari anak zina adalah bagi pemilik tikar”
Imam Syafi’i dan imam Malik berpendapat bahwa wajah istidlal atau segi penunjukan dalil dari kata firasy yang tersebut dalam hadis diatas ialah bermakna ibu, sehingga nasab anak hasil perzinahan itu hanya kembali kepada ibunya saja. Pendapat mereka itu juga di analogikan dengan ketentuan jumlah minimal bagi wanita hamil yakni anak yang lahir kurang dari enam bulan sejak saat berkumpulnya suami istri tanpa memperhatikan pernikahan, maka anak yang lahir tersebut akan dinasabkan kepada ibunya saja.
Berbeda dengan Abu Hanifah, beliau disamping berpegang teguh kepada yuridis formil yakni keabsahan anak sebagai keluarga ayah dilihat dari masa lahirnya tidak kurang dari jangka waktu enam bulan terhitung sejak pernikahan ibu dengan ayahnya. Di samping itu, beliau juga mengambil wajhu istidlal dari kata firasy ialah menunjukkan kepada laki-laki, pendapat ini berdasarkan sebuah hadis dari Abu Hurairah yaitu ;
عن ابى هريرة قال : قال النبي صلى الله عليه وسلم اذا دعا الرجل امرأته فأبت ان تجيئ لعنتها الملائكة حتى تصبح (رواه البخارى)
“Nabi SAW bersabda : “ Jika seorang laki-laki (suami) mengajak istrinya ke firasynya kemudian istrinya menolak, maka malaikat melaknatinya sampai pagi hari.” (HR. Bukhari)
Hadis diatas telah jelas menyatakan bahwa kata firasy tersebut berarti ranjang laki-laki karena menggunakan dhamir ghaib untuk laki-laki (firasyihi).
Dari dua argumen diatas kita dapat melakukan analisa terhadap kasus yang telah penulis paparkan diatas bahwasanya dalam kasus diatas ketika melihat argumentasi dari dua pendapat diatas maka kita dapat mengambil kesimpulan bahwa anak yang berasal dari hubungan diluar nikah tersebut tidak bisa di bangsakan kepada ayahnya. Jadi anak tersebut hanya dinasabkan kepada ibunya saja sehingga hal ini berimplikasi kepada tidak bisanya lelaki yang dianggap sebagai ayahnya tersebut menjadi wali nikah baginya. Namun demikian, ketika anak tersebut hanya dinasabkan kepada ibunya maka siapakah yang akan menjadi wali nikah bagi anak perempuan yang lahir sebab hubungan di luar nikah tersebut.
Dalam kondisi seperti ini maka yang akan menjadi wali bagi anak tersebut adalah sulthan atau wali hakim. As-Syaikh ibnu ‘Usaimin rahimahullahu berkata dalam As-Syarhul Mufti bahwa yang dimaksud dengan Sulthan adalah imam (amir) atau perwakilannya. Kalau di Indonesia mereka adalah petugas (penghulu) Kantor Urusan Agama (KUA). Pendapat ini yang menyatakan bahwa wali bagi anak zina adalah sulthan. Hal ini berdasarkan kepada hadis Nabi SAW [4]:
عن عائشة قالت : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : أَيُّمَا امْرَأَةٍ نَكَحَتْ بِغَيْرِ إِذْنِ وَلِيِّهَا فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ, فَاِنْ دَخَلَ بِهَا فَلَهَا الْمَهْرُ بِمَا اسْتَحَلَّ مِنْ فَرْجِهَا, فَإِنِ اشْتَجَرُوا فَالسُّلْطَانُ وَلِيُّ مَنْ لاَ وَلِيَّ لَهُ. اخرجه الاربعة الا النسائ, وصححه ابو عوانة, وابن حبان و الحاكم
“Siapa saja wanita yang menikah tanpa izin dari walinya maka pernikahannya batil dan bila laki-laki itu telah menggauilinya maka ia berhak mendapat mahar sebagai ganti atas hubungan yang telah dilakukan oleh lelaki itu dengan dirinya dan jika para wali berselisih untuk menikahkannya maka sulthan adalah wali bagi seorang wanita yang tidak punya wali.” (HR. Abu Dawud, At-Tirmidzi, dan Ibnu Majah, dishahihkan oleh Abu ‘Awanah, Ibnu Hibban, Al-Hakim)
As-Shan’ani berkata dalam Subulus Salam : hadis ini menunjukkan bahwa sulthan adalah wali bagi seorang wanita yang tidak mempunyai wali dalam pernikahan, baik karena memang tidak ada walinya atau walinya ada tetapi tidak mau menikahkannya. Kalau kita melihat kasus diatas maka anak perempuan tersebut termasuk dalam perempuan yang tidak mempunyai wali karena anak tersebut tidak bisa dinasabkan kepada ayahnya sehingga nasabnya tersebut hanya dibangsakan kepada ibu. Dengan hanya dinasabkan kepada pihak ibu bukan berarti hal ini membenarkan bahwa ibu bisa menjadi wali terhadap anak perempuan tersebut. Hal ini sesuai dengan hadis nabi SAW yaitu[5] ;
عن ابى هريرة رضى الله عنه قال : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم لاتزوج المرأة المرأة ولاتزوج المرأة نفسها. (رواه الدار قطنى و ابن ماجه)
“Dari Abu Hurairah r.a. beliau berkata : Rasulullah SAW bersabda, Wanita itu tidak sah menikahkan wanita lain dan tidak sah pula menikahkan dirinya”. (HR. Ad-Daruquthni dan Ibnu Majah)
Selain itu, tidak bisa pula wali dari pihak ibu menjadi wali terhadap anak perempuan tersebut artinya ‘ashabah dari pihak ibu tidak bisa menjadi wali terhadap anak perempuan tersebut walaupun ‘ashabah ibunya itu merupakan ‘ashabah anak itu. Hal ini sesuai dengan apa yang dikemukakan oleh Ibnu Qudamah dalam Al-Mughni bahwa kedudukan mereka sebagai ‘ashabah anak zina itu hanya dalam hal waris semata dan tidak berlaku dalam perkara perwalian nikah. Karena hubungan nasab mereka hanya melalui jalur ibu, sehingga tidak ada hak perwalian untuk mereka. Sehingga hal ini menunjukkan bahwa anak yang lahir dari hubungan di luar nikah tersebut dianggap tidak mempunyai wali sehingga wali hakimlah yang akan menjadi walinya.
Akan tetapi, hal tersebutpun harus dikaitkan pula dengan pendapat imam mazhab artinya bahwa masalah wali nikah anak zina tersebut kembali lagi kepada mazhab yang digunakan karena para ulama berbeda pendapat mengenai masalah wali nikah sebagai syarat sah suatu pernikahan sehingga hal inipun akan berimplikasi kepada penentuan wali nikah terhadap anak zina.
Menurut imam Syafi’I, Maliki dan Hanbali, kehadiran wali merupakan salah satu rukun nikah artinya disini bahwa bagi seorang perempuan tidak sah menikah tanpa adanya wali. Yang menjadi dasar penetapan keharusan adanya wali adalah Qur’an dan hadis. Dalil-dalil al-qur’an adalah sebagai berikut[6] :
An-Nur ayat 32
(#qßsÅ3Rr&ur 4yJ»tƒF{$# óOä3ZÏB tûüÅsÎ=»¢Á9$#ur ô`ÏB ö/ä.ÏŠ$t6Ïã öNà6ͬ!$tBÎ)ur 4 bÎ) (#qçRqä3tƒ uä!#ts)èù ãNÎgÏYøóムª!$# `ÏB ¾Ï&Î#ôÒsù 3 ª!$#ur ììźur ÒOŠÎ=tæ
Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian diantara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.
Al- Baqarah ayat 221
Ÿwur (#qßsÅ3Zè? tûüÏ.ÎŽô³ßJø9$# 4Ó®Lym (#qãZÏB÷sãƒ
janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman.
Inti alasan pada kedua ayat tersebut adalah bahwa Allah menyerahkan perkara perkawinan kepada pihak pria, bukan kepada kaum wanita. Jadi seolah-olah Allah berfirman, Wahai para wali janganlah kamu kawinkan wanita-wanita yang kamu urus dengan pria-pria yang masih musyrik.
Disamping itu Allah juga berfirman dalam Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 232 yaitu;
#sŒÎ)ur ãLäêø)¯=sÛ uä!$|¡ÏiY9$# z`øón=t6sù £`ßgn=y_r& Ÿxsù £`èdqè=àÒ÷ès? br& z`ósÅ3Ztƒ £`ßgy_ºurør& #sŒÎ) (#öq|ʺts? NæhuZ÷t/ Å$rã÷èpRùQ$$Î/ 3 y7Ï9ºsŒ àátãqム¾ÏmÎ/ `tB tb%x. öNä3ZÏB ß`ÏB÷sム«!$$Î/ ÏQöquø9$#ur ̍ÅzFy$# 3 ö/ä3Ï9ºsŒ 4s1ør& ö/ä3s9 ãygôÛr&ur 3 ª!$#ur ãNn=÷ètƒ ÷LäêRr&ur Ÿw tbqßJn=÷ès?
Apabila kamu mentalak isteri-isterimu, lalu habis masa iddahnya, Maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka kawin lagi dengan bakal suaminya[146], apabila telah terdapat kerelaan di antara mereka dengan cara yang ma'ruf. Itulah yang dinasehatkan kepada orang-orang yang beriman di antara kamu kepada Allah dan hari kemudian. itu lebih baik bagimu dan lebih suci. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.
Dalam ayat tersebut kata yang secara khusus menunjukkan larangan mempersulit sekaligus harus ada persetujuan dari wali adalah فلا تعضلو هن . imam Syafi’i mencatat bahwa ayat ini turun berkenaan dengan kasus Ma’qal bin Yasir yang menolak menikahkan saudarinya dengan seorang pria idamannya[7].
Adapun dasar hadis yang mengharuskan wali dalam perkawinan sekaligus larangan wanita menikahkan dirinya sendiri adalah hadis dari Aisyah yaitu :
عن عائشة قالت : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : أَيُّمَا امْرَأَةٍ نَكَحَتْ بِغَيْرِ إِذْنِ وَلِيِّهَا فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ........( اخرجه الاربعة الا النسائ, وصححه ابو عوانة, وابن حبان و الحاكم)
“Siapa saja wanita yang menikah tanpa izin dari walinya maka pernikahannya batil” (HR. Abu Dawud, At-Tirmidzi, dan Ibnu Majah, dishahihkan oleh Abu ‘Awanah, Ibnu Hibban, Al-Hakim)
Di samping itu juga terdapat asar Umar yang menolak perkawinan tanpa wali yaitu ;
ان عمر بن الخطاب رضى الله عنه رد نكاح امرأة نكحت بغير ولي
“Bahwasanya Umar bin Khatab menolak/membatalkan pernikahan seorang wanita yang menikah tanpa adanya wali”
Semua dalil-dalil diatas merupakan argumentasi yang dijadikan sebagai dasar atas keharusan adanya wali. Hubungannya dengan wali nikah anak zina yaitu ketika kita menggunakan mazhab ini atau yang berpegang pada pendapat imam Syafi’i, Maliki atau Hanbali maka bagi anak zina tersebut yang walaupun hanya di nasabkan kepada pihak ibu maka dia tetap harus memiliki wali. Di mana yang menjadi wali terhadap anak zina adalah wali hakim sesuai dengan apa yang telah penulis paparkan diatas pada masalah wali anak zina atau akibat hubungan di luar nikah dan ibunya tidak bisa menjadi wali terhadap anak zina tersebut.
Sedangkan kalau kita melihat kepada pendapat Abu Hanifah tentang masalah wali nikah maka beliau berpendapat dalam kitab Al-Mabsuth bahwa perkawinan tanpa wali (menikahkan diri sendiri) adalah boleh asalkan dengan syarat sekufu. Dasar yang membolehkan perkawinan tanpa wali menurut Abu Hanifah adalah Quran dan Sunnah. Dalil Al-Quran adalah sebagai berikut :
Al-Baqarah ayat 240
tûïÏ%©!$#ur šcöq©ùuqtGムöNà6YÏB tbrâxtƒur %[`ºurør& Zp§Ï¹ur OÎgÅ_ºurøX{ $·è»tG¨B n<Î) ÉAöqyÛø9$# uŽöxî 8l#t÷zÎ) 4 ÷bÎ*sù z`ô_tyz Ÿxsù yy$oYã_ öNà6øn=tæ Îû $tB šÆù=yèsù þÎû ÆÎgÅ¡àÿRr& `ÏB 7$rã÷è¨B 3 ª!$#ur îƒÍtã ×LìÅ6ym
Dan orang-orang yang akan meninggal dunia di antara kamu dan meninggalkan isteri, hendaklah Berwasiat untuk isteri-isterinya, (yaitu) diberi nafkah hingga setahun lamanya dan tidak disuruh pindah (dari rumahnya). akan tetapi jika mereka pindah (sendiri), Maka tidak ada dosa bagimu (wali atau waris dari yang meninggal) membiarkan mereka berbuat yang ma'ruf terhadap diri mereka. dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.
Al-Baqarah ayat 230
bÎ*sù $ygs)¯=sÛ Ÿxsù @ÏtrB ¼ã&s! .`ÏB ß÷èt/ 4Ó®Lym yxÅ3Ys? %¹`÷ry ¼çnuŽöxî 3 bÎ*sù $ygs)¯=sÛ Ÿxsù yy$uZã_ !$yJÍköŽn=tæ br& !$yèy_#uŽtItƒ bÎ) !$¨Zsß br& $yJŠÉ)ムyŠrßãn «!$# 3 y7ù=Ï?ur ߊrßãn «!$# $pkß]ÍhŠu;ム5Qöqs)Ï9 tbqßJn=ôètƒ
Kemudian jika si suami mentalaknya (sesudah Talak yang kedua), Maka perempuan itu tidak lagi halal baginya hingga Dia kawin dengan suami yang lain. kemudian jika suami yang lain itu menceraikannya, Maka tidak ada dosa bagi keduanya (bekas suami pertama dan isteri) untuk kawin kembali jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Itulah hukum-hukum Allah, diterangkan-Nya kepada kaum yang (mau) mengetahui.
Al-Baqarah ayat 232
#sŒÎ)ur ãLäêø)¯=sÛ uä!$|¡ÏiY9$# z`øón=t6sù £`ßgn=y_r& Ÿxsù £`èdqè=àÒ÷ès? br& z`ósÅ3Ztƒ £`ßgy_ºurør& #sŒÎ) (#öq|ʺts? NæhuZ÷t/ Å$rã÷èpRùQ$$Î/ 3 y7Ï9ºsŒ àátãqム¾ÏmÎ/ `tB tb%x. öNä3ZÏB ß`ÏB÷sム«!$$Î/ ÏQöquø9$#ur ̍ÅzFy$# 3 ö/ä3Ï9ºsŒ 4s1ør& ö/ä3s9 ãygôÛr&ur 3 ª!$#ur ãNn=÷ètƒ ÷LäêRr&ur Ÿw tbqßJn=÷ès?
Apabila kamu mentalak isteri-isterimu, lalu habis masa iddahnya, Maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka kawin lagi dengan bakal suaminya, apabila telah terdapat kerelaan di antara mereka dengan cara yang ma'ruf. Itulah yang dinasehatkan kepada orang-orang yang beriman di antara kamu kepada Allah dan hari kemudian. itu lebih baik bagimu dan lebih suci. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.
Dalam hal ini Abu Hanifah berpendapat bahwa akad dalam ayat-ayat diatas semuanya disandarkan kepada wanita (hunna), yang berarti akad tersebut menjadi hak atau kekuasaan mereka. Demikian juga tunjukan (khitab) al-baqarah ayat 232 adalah suami-suami, sesuai dengan awal ayat (واذا طلقتم النساء ). Dengan demikian tunjukan ayat ini adalah kalau masa ‘iddah mantan istrinya sudah habis, mantan suami tidak berhak mencegah mantan istrinya menikah dengan pria lain. Oleh karena itu ayat ini tidak berhubungan dengan para wali, sebab yang dilarang mempersulit adalah suami-suami.
Adapun dalil sunnah yang mendukung kebolehan wanita menikah tanpa wali adalah hadis yang berbunyi :
عن ابن عباس رضى الله عنه : ان رسول الله صلى الله عليه وسلم قال : الأيم احق بنفسها من وليها (رواه متفق عليه)
“ Seorang Al-Ayyim lebih berhak kepada dirinya daripada walinya”
Penyebutan al-ayyim dalam hadis ini menurut ahli bahasa dan juga menurut pendapat al-Karakhi adalah wanita yang tidak mempunyai suami, baik gadis maupun janda meskipun Muhammad as-Saibani berpendapat bahwa arti kata al-ayyim dalam hadis ini adalah janda. Dasar quran dan hadis- tersebut ditambah lagi dengan tindakan (asar) Umar, Ali Abdullah bin Umar yang membolehkan nikah tanpa wali, serta tindakan ‘Aisyah yang menikahkan anak perempuan saudaranya bernama hafsah binti Abdur Rahman. Menurut as-Sarakhi dari dalil-dalil diatas dapat ditarik kesimpulan tentang sahnya pernikahan tanpa adanya wali.
Dengan demikian dapat kita simpulkan bahwa meurut pandangan Abu Hanifah, wali dalam pernikahan bukanlah merupakan syarat sahnya suatu pernikahan artinya walau tanpa adanya wali seorang wanita dapat menikahkan dirinya. Dengan demikian dalam kasus anak yang lahir akibat hubungan di luar nikah maka tidak menjadi persoalan besar mengenai siapa wali nikahnya karena dalam pandangan Abu Hanifah seorang perempuan bisa menikahkan dirinya sendiri. Maka bagi anak zina tidaklah memerlukan wali karena ia bisa menikahkan dirinya sendiri.
Kalu kita mencoba menela’ah masalah anak yang lahir sebab hubungan di luar nikah dari segi hukum yang berlaku di Indonesia terutama dalam UU No. 1 tahun 1974. Maka kita akan menemukan dalam pasal 42 dijelaskan “Anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah”. Maka kalau kita melihat sekilas bunyi pasal diatas maka ketika kita kaitkan dengan kasus yang penulis paparkan diatas maka anak tersebut bisa dianggap anak yang sah karena anak tersebut lahir dalam perkawinan dan ketika dia dikatakan anak yang sah maka anak tersebut memiliki hubungan keperdataan juga dengan ayahnya sehingga ayahnya tersebut bisa menjadi wali terhadap anak itu. Hal ini juga sesuai dengan apa yang tercantum dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 99.

D. KESIMPULAN
Dari uraian yang telah penulis paparkan diatas telah jelas bahwa dalam masalah wali nikah anak yang lahir sebab hubungan di luar nikah sebagaimana kasus yang telah penulis paparkan diatas, maka dalam hal ini terdapat beberapa kesimpulan. Pertama, melihat kasus diatas maka berdasarkan pendapat para ulama maka anak tersebut tidak bisa dinasabkan kepada ayahnya karena anak tersebut lahir kurang dari enam bulan dari semenjak pernikahannya, baik itu dihitung dari akad maupun watak. Di mana hal ini mengakibatkan bahwa anak tersebut tidak mempunyai wali. Kedua, ketika kita berpegang kepada pendapat jumhur ulama yang mengatakan bahwa wali merupakan rukun sahnya nikah maka bagi anak zina tersebut harus pula mempunyai wali untuk sah pernikahannya maka karena anak tersebut tidak ada wali maka dalam hal ini sultanlah atau wali hakim yang menjadi walinya. Ketiga, sedangkan kalau kita berpegang kepada pendapat Abu Hanifah, dimana wali bukan merupakan syarat sahnya nikah maka bagi anak zina tersebut tidak memerlukan wali nikah karena ia bisa menikahkan dirinya sendiri. Keempat, kalau kita merujuk kepada UU no.1 tahun 1974 dan KHI maka anak tersebut bisa dikatakan anak yang sah karena ia lahir dalam hubungan pernikahan walaupun anak tersebut hasil hubungan zina, dengan demikian maka ketika merujuk kepada aturan tersebut maka wali anak tesrebut adalah lelaki yang menikahi ibunya tersebut.
Demikianlah sedikit uraian yang dapat penulis paparkan mengenai kasus yang terjadi saat ini dan sering diabaikan oleh banyak pihak. Dan penulis memohon kritik dan saran jika dalam membuat uraian ini banyak terjadi kesalahan. Wassalam
















DAFTAR PUSTAKA
Ghofar, Asyhari Abdul, Islam dan Problem Sosial Sekitar Pergaulan Muda-Mudi (Bimbingan Menuju Keluarga Sejahtera), Jakarta : Akademika Pressindo, 2000.
Ghofar, Asyhari Abdul, Pandangan Islam tentang Zina Dan Perkawinan Sesudah Hamil, Jakarta : Andes Utama, 1996.
As-Shan’ani, Muhammad Isma’il Al- Amiri Yamini, Subulus Salam, Jilid III, Kairo : Daar El-hadis, 1994.
Mukhtar, Kamal, Asas-asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, Jakarta : Bulan Bintang, 1993.
Sayyid Sabiq, Fiqhus Sunnah, diterjemahkan oleh Nor Hasanuddin, Cet I, Jakarta : Pena Pundi Aksara
Khoirudin Nasution, Status Wanita Di Asia Tenggara : Studi Terhadap Perundang-Undangan Perkawinan Muslim Kontemporer Di Indonesia Dan Malaysia, Jakarta : INIS, 2002.












[1] Walaupun sebagian ulama berbeda pendapat tentang wali apakah merupakan syarat sahnya nikah atau bukan, akan tetapi mayoritas muslim indonesia adalah penganut mazhab syafi’i yang secara umum berpendapat bahwa wali merupakan syarat sahnya suatu pernikahan
[2] Asyhari Abdul Ghofar, Islam dan Problem Sosial Sekitar Pergaulan Muda-Mudi (Bimbingan Menuju Keluarga Sejahtera), Jakarta : Akademika Pressindo, 2000, hal. 46-47
[3] Asyhari Abdul Ghofar, Pandangan Islam tentang Zina Dan Perkawinan Sesudah Hamil, Jakarta : Andes Utama, 1996, hal. 83
[4]Muhammad Isma’il Al- Amiri Yamini As-Shan’ani, Subulus Salam, Jilid III, Kairo : Daar El-hadis, 1994, hal. 172-173
[5] Kamal Mukhtar, Asas-asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, Jakarta : Bulan Bintang, 1993, hal. 96
[6] Sayyid Sabiq, Fiqhus Sunnah, diterjemahkan oleh Nor Hasanuddin, Cet I, Jakarta : Pena Pundi Aksara, 2006, hal. 12
[7] Khoirudin Nasution, Status Wanita Di Asia Tenggara : Studi Terhadap Perundang-Undangan Perkawinan Muslim Kontemporer Di Indonesia Dan Malaysia, Jakarta : INIS, 2002, hal. 177-178

1 komentar:

Anonim mengatakan...

BAGAIMANA JIKA SI IBU HAMIL DARI LAKI2 LAIN DAN MENIKAH DENGAN LAKI2 LAIN KARENA AYAH BIOLOGIS ANAK TERSEBUT TIDAK BERTANGGUNGJAWAB. SIAPAKAH WALI ANAK TERSEBUT? MAKASIH

Posting Komentar

 
Copyright 2010 Perbandingan Mazhab dan Hukum. Powered by PMH
Blogger Templates created by Waay S.Hi
Wordpress by Kajur*Sekjur*IKALUIN-FSH